Selasa, 06 Desember 2011

Pelaksanaan Penegakan HAM di Indonesia dalam Perspektif Hukum Pidana


BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Terdapat batasan tentang Hak Asasi Manusia. Hendarmin Ranadireksa ( 2002 : 139 ) memberikan definisi tentang Hak Asasi Manusia pada hakekatnya adalah seperangkat ketentuan atau aturan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan penindasan, pemasungan dan atau pembatasan ruang gerak warga negara oleh negara. Artinya, ada pembatasan-pembatasan tertentu yang diberlakukan pada negara agar hak warga negara yang paling hakiki terlindungi dari kesewenang – wenangan kekuasaan.[1] Menurut Mahfud MD, Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan hak tersebut dibawa manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri ( kodrati ), bukan merupakan pemberian manusia atau negara.[2] Dari dua pendapat tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang melekat pada setiap individu sejak dilahirkan ke muka bumi dan bukan merupakan pemberian manusia atau negara yang wajib dilindungi oleh negara.
Negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa terkecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku yang tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnis, ras, warna, kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin, dan status sosial yang lain. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun horizontal (antar warga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat ( grossviolation of human rights). Kewajiban menghormati hak asasi manusia tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama yang berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan untuk beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, serta hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dan tersurat dalam Pasal 28A sampai Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945 yang yang mengatur tentang hak asasi manusia.
Komisi HAM didirikan dengan tujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM di Indonesia, serta meningkatkan perlindungan dan penegakkan Hak Asasi Manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya.[3] Berdasarkan Undang – Undang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM memiliki fungsi untuk melaksanakan pengkajian, penyuluhan, serta mediasi mengenai HAM di Indonesia.
Dalam dunia Internasional, terdapat rumusan beberapa hak asasi yang dimuat dalam Perjanjian Hak Sipil dan Politik dan Perjanjian Hak – Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya :[4]
Hak – Hak Sipil dan Politik mencakup antara lain :
ü    Pasal 6             :           Right to Life – hak atas hidup.
ü    Pasal 9             :           Right to liberty and security of person – hak atas kebebasan dan keamanan dirinya.
ü    Pasal 14           :           Right to equality before the courts an tribunals – hak atas kesamaan di muka badan-badan peradilan.
ü     Pasal 18           :           Right to freedom of thought, conscience and religion – hak atas  kebebasan berpikir, mempunyai conscience, beragama.
ü    Pasal 19           :           Right to holg opinions without interference – hak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan.
ü    Pasal 21           :           Right to peaceful assembly – hak atas kebebasan berkumpul secara damai.
ü    Pasal 22           :           Right to freedom of association – hak untuk berserikat.
Tetapi menurut hasil penelitian, sejarah HAM tumbuh dan berkembang sejak HAM itu diperjuangkan ketika berhadapan dengan kesewenang-wenangan kekuasaan negara. pelanggaran HAM juga mungkin dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri. Misalnya pada masa Orde Baru, kebebasan berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat sangat dibatasi. Begitu juga kejahatan terhadap kemanusiaan dalam berbagai bentuknya sering terjadi, seperti penangkapan, penyiksaan dan  pembunuhan atas orang-orang yang dianggap dapat mengancam dan menggoyahkan eksistensi kekuasaannya. Rezim Orde Baru yang represif dan otoriter sudah terlalu banyak melakukan pelanggaran pelanggaran HAM, sehingga menimbulkan gejolak gejolak sosial dan politik yang pada akhirnya mengakibatkan kejatuhannya pada bulan Mei 1998 lalu.
Kasus – kasus pelanggaran HAM pada periode 1998 – 2011, diantaranya :
ü    Kasus Semanggi I dan II, Trisakti ( Tahun 1998 ).
ü    Kasus Poso ( Tahun 1998 ).
ü    Kasus Ambon ( Tahun 1999 ).
ü    Kasus Sampit ( Tahun 2001 ).
ü    Kasus Ahmadiyah ( Tahun 2007 – 2008 ).
ü    Kasus pelarangan pendirian rumah ibadah Ahmadiyah ( 2009 – 2010 ).
ü    Kasus Prita Mulyasari ( Tahun 2010 – 2011 ).
Namun demikian dalam era reformasi ini telah berhasil disusun instrumen instrumen penegakan HAM. Diantaranya amandemen UUD ‘45 yang kemudian memasukkan HAM dalam Bab tersendiri dengan pasal pasal yang menyebutkan HAM secara lebih detail. Selain amandemen UUD 1945 juga ditetapkannya Ketetapan MPR  RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang menugaskan kepada lembaga lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai  HAM kepada seluruh masyarakat. Juga menugaskan kepada Presiden RI dan DPR RI untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB tentang HAM sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, dan diudangkannya Undang Undang RI No 09 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Undang Undang RI No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang juga memperkuat posisi Komnas HAM yang dibentuk sebelumnya berdasarkan Keppres. No 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, serta diundangkannya Undang Undang RI No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Sungguhpun instrumen instrumen penegakan HAM di Indonesia sudah cukup memadai, tapi dalam prakteknya penegakan HAM masih dihadapkan kepada berbagai problem yang perlu diidentifikasi dan dicarikan solusi, sehingga Indonesia sebagai negara hukum yang diantara ciri-cirinya menegakkan HAM tidak hanya sebuah lip service atau retorika belaka, tapi benar benar menjadi sebuah jati diri negara Indonesia yang sesungguhnya.
HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh :[5]
a.                  Negara
b.                  Hukum
c.                   Pemerintah,
d.                   dan setiap orang
Negara wajib melindungi dan menjunjung tinggi HAM karena masyarakat telah menyerahkan sebagian hak-haknya kepada negara untuk dijadikan hukum ( Teori Kontrak Sosial ). Negara memiliki hak membuat hukum dan menjatuhkan hukuman atas pelanggaran HAM. Maka dalam hal ini, negara mempunyai “ kekuasaan “. Kekuasaan artinya mampu memaksakan kehendak kepada pihak lain. Oleh karena itu, kekuasaan Negara yang tertinggi berarti kekuasaan yang tertinggi yang menentukan kehendak di dalam negara tersebut.[6] Hal tersebut disebut sebagai “kedaulatan”, dalam bahasa Inggris menyebutnya “sovereignty”.
Harold J. Laski di dalam bukunya mengemukakan :
By a state I mean a society of this kind which is integrated by possessing a coercive authority legally supreme over any individual or group which is part of the society “[7]
“ The power is called sovereignty; and it is by the possession of sovereignty that the state is distinguished from all other forms of human association. “[8]
Pemerintah wajib melindungi HAM berdasarkan Pasal 8 UU No 39 Tahun 1999, hak – hak yang dilindungi diantaranya :
ü    Hak Hidup.
ü    Hak hak untuk tidak disiksa
ü    Hak kebebasan pribadi
ü    Hak Pikiran dan hati nurani,
ü    Hak beragama,
ü    Hak untuk tidak diperbudak,
ü    Hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Penegakan Hukum Pidana merupakan salah satu perwujudan penegakan HAM oleh pemerintah, karena melindungi HAM korban dan masyarakat/kepentingan umum. Namun, apabila dalam menegakkan upaya paksa dalam proses penegakan HAM tersebut oleh penegak hukum terjadi pelanggaran atau tidak sesuai prosedur yang ditentukan UU, maka terjadi apa yang disebut “ Pelanggaran HAM “.
Pelanggaran HAM yaitu perbuatan orang atau sekelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja atau tidak atau kelalaian secara melawan hukum mengurangi / menghalangi /  membatasi / mencabut HAM orang / kelompok orang yang dijamin oleh UU dan tidak mendapat / dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar.
Upaya paksa yang rawan terjadi pelanggaran HAM yaitu :
ü    Penangkapan
ü    Penahanan
ü    Penggeledahan
ü    Penyitaan
Van Aperldoorn melihat dalam peristiwa pidana ( strafbaar feit ) suatu pelanggaran tata tertib hukum ( rebhtorde ) umum dan tidak melihat dalam peristiwa pidana itu suatu pelanggaran kepentingan-kepentingan khusus ( bijzondere belangen ) dari para individu.[9] Oleh sebab itu penuntutan peristiwa pidana tersebut tidak dapat diserahkan kepada individu yang dirugikan oleh peristiwa pidana itu, tetapi peuntutan itu harus dijalankan oleh pemerintah.
Hak – hak tersangka atau terdakwa diatur oleh KUHAP Pasal 50  - 68, meliputi :[10]
ü    Hak untuk segera diperiksa, diajukan di pengadilan, dan diadili.
ü    Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan.
ü    Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim.
ü    Hak untuk mendapat juru bahasa.
ü    Hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan.
ü    Hak menghubungi dokter bagi tersangka yang sakit.
ü    Hak tersangka atau terdakwa menuntut ganti rugi, dsb.
Perlindungan HAM dapat dilakukan di Pengadilan dan di luar pengadilan. Pada pengadilan, yaitu Pengadilan umum, Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Militer, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi.
 Sedangkan di luar pengadilan oleh :[11]
·                     Komnas HAM ( Komisi Nasional HAM ).
·                     KPAI ( Komisi Perlindungan Anak Indonesia ).
·                     Komisi Ombudsman, yaitu komisi untuk mengawasi jalannya birokrasi pemerintahan.
·                     Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK )
·                     Komisi Pemilihan Umum ( KPU ), dsb.
Tuntutan penegakan dan penghormatan HAM dari hari ke hari semakin meningkat. Hal ini ditandai dengan desakan masyarakat untuk menyeret pelaku kejahatan taua pelanggaran HAM ke depan pengadilan. Misalnya dalam kasus Semanggi I & 2 ( 1998 ), Sampit ( 2001 ), Ambon ( 1999 ), Poso ( 1998 ), Ahmadiyah ( 2007 – 2008 ) dan lain sebagainya. Mengatasi masalah ini MPR mengeluarkan TAP MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998, tanggal 13 November 1998 tentang HAM yang menugaskan kepada Lembaga – Lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur pemerintahan untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat ( Pasal 1 ). Selanjutnya menugaskan kepada Presiden RI dan DPR untuk meratifikasi berbagai instrument PBB tentang HAM, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 ( Pasal 2 ). Implementasi atas TAP MPR tersebut lahirlah UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dilanjutkan dengan lahirnya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. [12]
Maka dari itu, akan penulis uraikan permasalahan diatas yang berhubungan dengan Pelaksanaan Penegakan HAM di Indonesia dalam sudut pandang Hukum Pidana dengan judul “ Pelaksanaan Penegakan HAM di Indonesia dalam Perspektif Hukum Pidana “.




















BAB II
PERMASALAHAN

            Kasus pelanggaran HAM memang selalu menjadi isu menarik. Bahkan semua yang melanggar  kebebasan seseorang  dinilai  melanggar  HAM. Kondisi ini  mengingatkan  pada mencuatnya  isu  kebebasan  dan  hak-hak  dasar  manusia  yang  pernah  menjadi  ikon kosmologi pada abad ke-18. Pada masa itu hak-hak dasar tidak hanya dipandang sebagai kewajiban yang harus dihormati penguasa. Tetapi, juga hak yang mutlak dimiliki oleh rakyat. Bahkan pada abad 18 muncul kredo (pernyataan kepercayaan) tiap manusia dikaruniakan hak-hak yang kekal. Hak  yang  tidak  dapat  dicabut  dan  yang  tidak  pernah  ditinggalkan  ketika  umat  manusia beralih  untuk  memasuki  era  baru  dari  kehidupan  pramodern  ke  kehidupan  modern.  Serta tidak  pernah  berkurang  karena  tuntutan  hak  memerintah  penguasa.  Betapa  HAM  telah mendapatkan  tempat  khusus  di  tengah-tengah  perkembangan  kehidupan  manusia  mulai abad 18 sampai sekarang.
            Berikut ini akan diuraikan kasus – kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia pada Periode 1998 – 2011.

2.1       Tragedi Semanggi ( 1998 – 1999 )
            Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan sebelas orang lainnya di seluruh jakarta serta menyebabkan 217 korban luka - luka.
Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan B. J. Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan dunia internasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja.
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan. Saat itu juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai 17 orang. Sementara 456 korban mengalami luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras, tajam/tumpul.
Penyerangan  terhadap  para  demonstran  pada  ketiga  peristiwa  ini  dan  di  daerah-daerah luar Jakarta tampak tidak terukur dan di luar batas-batas kewajaran (exesive use of force).  Sebagaimana  standar  operasi  pengendalian  huru-hara  penggunaan  gas  air  mata, meriam  air  dan  tembakan  salvo  memang  dilakukan,  akan  tetapi  penggunaan  cara  itu terutama  senjata  api  dengan  peluru  karet  atau  tajam  tetap  harus  dibatasi.  Pada  ketiga rangkaian peristiwa,  para demonstran tak hanya dibubarkan dengan perangkat  penghalau, tapi banyak yang diserang secara fisik, ataupun dianiaya, bahkan dalam beberapa kejadian terjadi pelecehan dan serangan seksual, yang menunjukkan operasi pengendalian itu di luar batas kewajaran. Setidaknya terdapat dua kasus penganiayaan (Semanggi I dan Semanggi II) yang dilakukan  oleh pasukan pengendali  demonstrasi  sehingga mengakibatkan  korban tewas.

2.2       Tragedi Poso ( 1998 – 2000 )
            Telah terjadi bentrokan di Poso yang memakan banyak korban yang diakhiri dengan bentuknya Forum Komunikasi Umat Beragama (FKAUB) di kabupaten Dati II Poso. Kasus Poso yang berlangsung hampir dua tahun sejak Desember 1998 dan terbagi atas tiga fase, masing-masing kerusuhan jilid I (25 – 29 Desember 1998) jilid II ( 17-21 April 2000) dan jilid III (16 Mei – 15 Juni 2000) serta telah menelan korban tewas hampir 300 jiwa, ratusan orang tak diketahui nasibnya, dan hampir 70.000 jiwa mengungsi adalah suatu tragedi kemanusiaan yang memilukan.
            Dalam pertemuan Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) dengan Polri, kedua pihak bertukar informasi hasil penelusuran tentang konflik Poso. Berdasarkan hasil penelusuran Komnas HAM, masalah utama yang menyebabkan terjadinya konflik Poso, karena masalah sosial dan kultural, termasuk kurang tegasnya polisi dalam menegakkan hukum.
            Komnas HAM telah menerima beberapa pengaduan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian. Sedangkan setiap orang, termasuk yang ditetapkan sebagai tersangka, harus dilindungi haknya. Dihindarkan sejauh mungkin polisi melakukan kekerasan dalam pemeriksaan.
Peninjauan Kembali (PK) kedua yang diajukan terpidana mati Tibo cs tidak diatur dalam KUHAP maupun undang-undang lainnya sehingga alasan menunggu apakah MA akan menerima PK kedua tersebut bisa dijadikan dasar hukum untuk menunda pelaksanaan eksekusi.
Dalam kondisi penegakan hukum yang normal, argumentasi Jaksa Agung itu sah-sah saja karena hukum acara pidana kita memang tidak mengenal PK yang kedua.
Sesuai ketentuan KUHAP yang menegaskan bahwa PK diajukan hanya satu kali saja (Pasal 268 ayat 3). Apabila PK dilakukan untuk kedua kalinya maka tidak ada kepastian hukum (rechtszekerheid). Tetapi dalam kondisi penegakan hukum yang abnormal (abnormaliteit) di mana proses hukum sarat dengan rekayasa untuk melindungi kepentingan orang-orang tertentu, adalah bijak apabila Jaksa Agung tidak menabukan upaya hukum PK yang kedua kalinya. Ini sesuai dengan tujuan akhir hukum acara pidana untuk mewujudkan ketenteraman, keadilan, dan kedamaian bagi umat manusia Demi keadilan, seharusnya Jaksa Agung tidak terburu-buru mengeksekusi Tibo cs sebab kasus ini masih menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.

2.3       Tragedi Sampit ( 2001 )
            Pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi memberikan harapan bahwa demokratisasi telah dimulai. tiba-tiba dikejutkan oleh pertikaian etnis yang terjadi di Kalimantan Tengah pada Pertengahan Februari 2001. Pertikaian yang secara umum melibatkan etnis Dayak dan Madura ini diperkirakan telah mengakibatkan 419 orang meninggal dunia, 93 orang luka-luka, 1.304 rumah beserta 250 kendaraan bermotor dirusak dan dibakar serta sebanyak 88.164 orang mengungsi.
Pertikaian yang terjadi di Kalimantan Tengah yang bermula di Kota Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur dengan cepat menyebar ke kota lainnya seperti di Palangka Raya, Kab. Kotawaringin Barat dan Kab. Kapuas. Untuk mencegah agar konflik tidak meluas ke daerah lain di Kalimantan Tengah, Pemerintah Pusat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah telah melakukan serangkaian tindakan, antara lain mengirimkan sejumlah pasukan pengamanan tambahan yang terdiri dari Pasukan BRIMOB dan TNI disamping melakukan upaya-upaya evakuasi terhadap para pengungsi.
Dalam melakukan tugas-tugas pengamanan telah terjadi beberapa insiden yang melibatkan anggota Kesatuan BRIMOB dengan warga masyarakat di sejumlah lokasi, khususnya Peristiwa di Bundaran Besar Palangka Raya tanggal 8 Maret 2001 dan Peristiwa di Km. 40 – 41 Sampit ke Pangkalan Bun pada tanggal 6 April 2001. Dalam insiden tersebut juga telah mengakibatkan korban jiwa dan harta benda di kedua belah pihak.



2.4       Tragedi Ahmadiyah ( 2007 – 2008 )
            Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai insiden penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Pandeglang, Banten, adalah pelanggaran HAM serius.  Terbunuhnya tiga jemaah Ahmadiyah dalam insiden penyerangan yang terjadi di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten. Hak-hak jemaah Ahmadiyah telah dirampas, baik terlanggarnya hak atas hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, bebas dari rasa takut, dan mendapat rasa aman berdiam di satu daerah.
            Komnas HAM mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mengambil langkah konkret dan cepat untuk menangani persoalan itu. Hal pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah menyeret pelaku tindak kekerasan itu ke pengadilan

2.5       Kasus Prita Mulyasari ( 2010 – 2011 )
            Putusan Mahkamah Agung pada 30 Juni 2011 yang menghukum Prita Mulyasari dalam kasus pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional hanya karena yang bersangkutan mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut, dikhawatirkan akan mengganggu reputasi Indonesia dalam bidang penegakan Hak Asasi Manusia.

2.6       Kasus Ruyati ( 2011 )
            Januari 2010, Ruyati dituduh membunuh ibu majikannya bernama Khairiya Hamid Mujallid dengan alat pemotong daging. Pada Mei 2010, Ruyati diadili pertama kali dan diancam hukuman Qishas, yakni hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, misalnya hukuman bagi pembunuh adalah hukuman mati jika tidak ada pengampunan dari keluarga korban. Setahun kemudian, majelis hakim di Mekkah memvonis hukuman pancung, yang eksekusinya dijalankan pada 18 Juni 2011. Di tengah proses permintaan pengampunan yang selalu ditolak keluarga korban itulah, eksekusi dijalankan. Pemerintah Indonesia menyayangkan hal ini karena tanpa pemberitahuan sama sekali dari pemerintah Arab Saudi.

           

BAB III
ANALISIS MASALAH

            Ketentuan HAM di Indonesia dalam UUD 1945 tercantum dalam Pasal 28A – 28J. Sebenarnya pada UUDS 1950 ( 1949 – 1950 ), telah memuat pasal-pasal HAM lebih banyak dan lengkap dibandingkan UUD 1945. Namun, Konstituante yang dibentuk melalui Pemilu tahun 1955 dibubarkan berdasarkan Kepres Nomor 150 tahun 1959, tanggal 5 Juli 1959.
            Kemudian berbagai pihak untuk melengkapi UUD 1945 yang berkaitan dengan HAM, melalui MPRS dalam sidang-sidangnya awal Orde Baru telah menyusun Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara. MPRS telah menyampaikan Nota MPRS kepada Presiden dan DPR tentang pelaksanaan HAM. Karena berbagai kepentingan politik saat itu, akhirnya tidak jadi diberlakukan. Dapat dilihat bahwa pemerintahan Orde Baru bersifat anti terhadap Piagam HAM, dan beranggapan bahwa masalah HAM sudah diatur dalam berbagai perundang-undangan.[13] Berikut ini diuraikan mengenai pelaksanaan penegakan HAM Pidana di Indonesia dari mulai masa Kabinet Orde Baru, Kabinet Reformasi Pembangunan dan Kabinet Gotong-royong.

3.1       Orde Baru
            Pada masa pemerintahan Orde Baru, demokrasi belum berjalan dengan baik. Terlihat misalnya seperti kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum, kebebasan pers maupun kebebasan dalam organisasi, hal ini terlihat pada kasus pada masa itu yaitu Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II. Hanya kepentingan politik yang menonjol pada waktu itu, sehingga gerak-gerik masyarakat terbatas oleh kekuatan politik dan militerisme.
            Bertumpuknya permasalahan Orde Baru, baik masalah BLBI, KKN, kasus Tanjung Priok tanggal 12 September 1984, DOM Aceh tahun 1989, Trisakti tanggal 12 Mei 1998, ketidakpercayaan terhadap pemerintah, dan terjadi kerusuhan tanggal 12-14 Mei. Saat itu pemerintahan Orde Baru sering melakukan tindakan-tindakan yang dikategorikan sebagai crimes by government atau top hat crimes[14], seperti penculikan terhadap para aktifis pro-demokrasi (kasus penghilangan secara paksa) yang bertentangan dengan HAM, seklaipun tahun 1993 pemerintah sudah mendirikan Komisi Nasional HAM. Sebagai puncaknya, tahun 1998, Orde Baru jatuh dengan adanya multi krisis di Indonesia serta tuntutan adanya Reformasi di segala bidang.
            Pada tahun 1993, pemerintah Indonesia telah membentuk Komnas HAM dengan Kepres No. 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komnas HAM memiliki tugas yang diatur dalam Pasal 5, yaitu :
a.                  Menyebarluaskan wawasan nasional dan internasional mengenai HAM baik kepada masyarakat Indonesia maupun internasional.
b.                  Mengkaji berbagai instrument PBB tentang HAM dengan tujuan memberikan saran mengenai kemungkinan aksesi dan/ratifikasi.
c.                   Memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM serta pendapat, pertimbangan, dan saran kepada badan pemerintahan negara mengenai pelaksanaan HAM, dan
d.                  Mengadakan kerja sama regional dan internasional dalam rangka memajukan dan melindungi HAM.
Di dalam realisasinya, keberadaan Komnas HAM tidak memiliki ‘power’ dalam melaksanakan tugasnya, yang terbatas pada pemantauan dan penyelidikan semata. Sehingga, dalam kasus Trisakti, semanggi I dan II, dll tidak ditangani secara efektif dalam penegakan pidana.

3.2       Kabinet Reformasi Pembangunan
            Pada Kabinet Reformasi Pembangunan, telah terjadi Kasus Semanggi I tanggal 13 Nopember 1998, Semanggi II tanggal 22 – 24 September 1999, pelanggaran HAM berat di Liquica, Dilli bulan April 1999 dan September 1999.
            Seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru menuju Orde Reformasi yang lebih menitik beratkan pada perlindungan hukum dan penegakan HAM, rakyat melalui MPR melakukan Amendemen UUD 1945 dengan memasukkan Pasal yang khusus mengatur tentang HAM, yakni Pasal 28 UUD 1945. Pemerintah juga mengundangkan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Didalam UU tentang HAM tersebut, job deskripsi dari Komnas HAM mengalami perubahan.
            Perubahan tersebut meliputi :
a.      Fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang HAM ( Pasal 76 ayat (1) UU No 39 tahun 1999 ).
b.      Tugas penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat ( Pasal 18 ayat (1) UU No 26 tahun 2000 ).
Di dalam peraturan perundang-undangan tentang HAM, seperti UU Pengadilan HAM terdapat salah satu ketentuan yang memberikan peluang dibukanya kembali kasus – kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM, yang diatur dalam Pasal 43 – 44 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc dan Pasal 46 tentang tidak berlakunya ketentuan kadaluarsa dalam pelanggaran HAM ( Asas Retroaktif ).[15]
Dalam penyelesaian Kasus Trisakti dan Semanggi, meskipun DPR RI telah merekomendasikan agar kasus Trisakti dan Semanggi I dan II ditindak  lanjuti  dengan  Pengadilan  Umum  dan Pengadilan  Militer,  namun  sehubungan dengan  adanya  dugaan  telah  terjadinya  pelanggaran  HAM  berat,  tuntutan  keadilan  bagi keluarga korban dan masyarakat,  dan dalam rangka penegakan hukum dan penghormatan hak  asasi  manusia,  dipandang  perlu  Komnas  HAM  melakukan  penyelidikan  dengan membentuk  Komisi  Penyelidikan  Pelanggaran HAM Trisakti, Semanggi  I, dan Semanggi II. Maka  dalam  Rapat  Paripurna  Komnas  HAM  tanggal  5  Juni  2001  menyepakati pembentukan  Komisi  Penyelidikan  Pelanggaran  Hak  Asasi  Manusia  Peristiwa  Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II yang selanjutnya dituangkan dalam SK Nomor 034/KOMNAS HAM/VII/ 2001 tanggal 27 Agustus 2001.
Komnas HAM mengancam bahwa kasus HAM berat ( Trisakti dan Semanggi ) di Indonesia akan diadukan ke Komisi HAM Internasional. Selain itu Komnas HAM juga akan meminta bantuan pengadilan untuk memanggil paksa para jendral tersebut yang terlibat dalam kasus tersebut. sudah digelar pula pengadilan militer bagi pelaku lapangan dalam kasus Penembakan Mahasiswa Trisakti 1998. Tapi, vonis dinilai terlalu ringan, terdakwa hanya aparat rendah di lapangan, tak menyentuh pelaku utama. Demikian pula dengan pengadilam HAM di Makassar untuk kasus Abepura, Papua, yang terdakwanya dinilai hanya aparat lapangan serta telah terjadinya penolakan atas gugatan reparasi dari korban. Ketidakpuasaan yang sama terjadi pada pelaksanaan pengadilan HAM Ad Hoc di Jakarta tahun 2003-2004 untuk kasus Tanjung Priok 1984. Vonis dianggap terlalu ringan, ada vonis bebas, tidak menyentuh pelaku utama, serta terjadi initimidasi selama persidangan dan reparasi yang tidak memadai bagi korban.
Dalam penyelesaian kasus Sampit, dalam Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 3 April 2001 menyepakati pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Sampit/Kalteng yang selanjutnya dituangkan dalam SK Nomor 024/KOMNAS HAM/ V/ 2001 tanggal 5 Mei 2001. 
Tugas KPP HAM Sampit/Kalteng adalah :
v    Mengumpulkan dan mencari berbagai data, informasi dan fakta tentang berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat pada saat dan setelah terjadinya kerusuhan antar etnis di Sampit dan Palangka Raya.
v    Menganalisa akar masalah penyebab meletusnya konflik antar etnis di Sampit dan Palangka Raya untuk dapat menyampaikan alternatif solusi menciptakan perdamaian menuju rekonsiliasi.
v    Menyelidiki tingkat keterlibatan aparatur negara atau badan atau kelompok lain dalam pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sejak diundangkannya Undang-Undang Pengadilan HAM No. 26/2000.
v    Mencocokan antara temuan-temuan bukti di lapangan dengan data-data yang dihimpun secara komperehensif dan terpadu.
v    Merumuskan dan menyampaikan hasil penyelidikan kepada Rapat Paripurna sebagai dasar penyusunan rekomendasi Komnas HAM untuk diteruskan menjadi penyidikan oleh Kejaksaan Agung.


3.3       Kabinet Gotong – Royong
            Belum lama ini terjadi kejahatan untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa yang beragama tertentu, yaitu dalam kasus Ahmadiyah. Kejahatan ini termasuk kejahatan Genosida yang merupakan pelanggaran HAM berat, seperti yang diatur dalam UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Negara seharusnya bertindak tegas untuk melindungi Hak Asasi jamaah Ahmadiyah, termasuk dalam hal mendirikan tempat ibadah.
            Dalam kasus Ruyati, Menteri Hukum dan HAM telah menyerahkan surat permohonan pengampunan langsung untuk Raja Arab Saudi atas nama Bapak Presiden sebanyak 23 orang terpidana mati, termasuk di dalamnya adalah nama almarhumah Ruyati binti Satubi. pemerintah Arab Saudi dijanjikan oleh Pemerintah Arab Saudi akan memberikan pemaafan dan pengurangan hukuman apabila telah mendapatkan pemaafan dari keluarga. Kesimpulan, bahwa pemerintah Indonesia sejak awal telah melakukan upaya-upaya diplomasi, advokasi, perlindungan dan bantuan terhadap permasalahan TKI yang tersangkut masalah hukum di luar negeri, antara lain seperti yang dikatakan berupa pembebasan, pengampunan, dan pengurangan hukuman. Komisi III DPR mempertimbangkan kunjungan ke lapangan kepada instansi terkait untuk mendengar langsung bagaimana perlindungan HAM kepada warga di luar negeri dilaksanakan. Rencana ini akan dilakukan bila pleno menyetujui.
                Sekarang adalah waktu yang tepat untuk segera melaporkan kejadian tersebut kepada Mahkamah Internasional, karena tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada perwakilan pemerintah Indonesia di Arab Saudi mengenai eksekusi pancung yang akan diberikan oleh Tenaga Kerja Wanita asal Indonesia. Hal tersebut telah melanggar hukum Internasional dan juga melanggar Hak Asasi Manusia.

3.4       Upaya Hukum dalam menyelesaian Kasus – Kasus HAM Berat di Indonesia
Maraknya kasus-kasus pelanggaran berat yang terjadi di Indonesia lebih banyak mengarah pada crimes by government ( Trisakti, penghilangan paksa, Semanggi I dan II, Tanjung Priok, dll ), sehingga perlu penyelasaian oleh pemerintah dengan membuka kembali kasus tersebut. Kasus masa lampau yang saat ini sedang diupayakan dibuka kembali, yakni Kasus 27 Juli 1996 (Kudatuli) dan kasus kerusuhan Mei 1998. Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II termasuk kejahatan HAM berat yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan. Unsur  penting  dari  kejahatan  terhadap  kemanusiaan  adalah  adanya  serangan  yang dilakukan  secara  sistematis  (systematic)  atau  meluas  (widespread)  dan  serangan  itu ditujukankepada  warga  sipil.  Tindak  kejahatan  inilah  yang  diduga  terjadi  pada  kasus Trisakti, Semanggi dan II.
Upaya membuka kembali kasus pelanggarah HAM berat dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
v    Jalur Hukum ( Pidana/Penal )
Penggunaan jalur hukum (pidana) dapat ditempuh sesuai dengan isi ketentuan UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang dilakukan dengan cara-cara yang sudah ditetapkan tahapan-tahapan dalam Pasal 10 – 33 UU Pengadilan HAM. Ketentuan pidana juga diatur dalam Pasal 36-42 UU Pengadilan HAM dengan ketentuan penjara minimal 5 tahun dan maksimal pidana mati atau penjara seumur hidup. Terdapat ketentuan mengenai delik omission (pembiaran) dan commissionis. Dalam Kasus Timor-Timor ada terdakwa yang divonis pidana penjara selama 3 tahun di bawah standar minimum.
v    Jalur Alternatif
Keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR ) di Indonesia diatur dalam Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No 26 Tahun 2000, yang intinya tidak menutup kemungkinan adanya alternative penggunaan lembaga KKR untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM diundangkan.
Dalam praktiknya, aparat penegak hukum Indonesia telah melakukan pelanggaran asas non-retroaktif. Buktinya, dalam kasus Abdullah Puteh dan Kasus Jose Abilio Soares. Dalam kasus Puteh, ia disidik oleh penyidik KPK. Tindakan Puteh yang didakwakan oleh penuntut umum dilakukan pada  bulan Juni 2002, sedangka KPK baru lahir tanggal 27 Desember 2002 melalui UU No 30 Tahun 2002. Sedangka UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK menganut asas non-retroaktif ( Pasal 72). Pada kasus Abilio, Pasal 43 ayat (1) UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menganut asas retroaktif. Maka, Pengadilan Ad Hoc HAM Indonesia mengadili Abilio.[16]
Untuk membuka kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat, diperlukan “filter” yang dapat meyaring kaus pelanggaran HAM berat melalui “political wisdom” dari DPR, sekalipun sifat dari “filter”, seperti digelarnya pengadilan HAM Ad Hoc terhadap Kasus Tanjung Priok, DOM ( Daerah Operasi Militer ) Aceh, dan Kasus Timor-Timor pasca jajak pendapat.[17]
Selama pemerintahan Orde Baru hingga Reformasi, banyak kasus Korupsi di Indonesia yang tidak terselesaikan dengan baik. Sebagaimana dinyatakan oleh Lembaga Internasional bahwa Indonesia adalah negara ketiga paling korup sedunia, dan merupakan negara paling korup se Asia. Sebagai negara paling  korup, tanpa seorang koruptor pun yang dipenjarakan.




















BAB IV
KESIMPULAN

Pada Masa Orde Baru hingga Kabinet Gotong-Royong banyak pelanggaran HAM yang terjadi, baik yang sedang diselesaikan maupun belum disentuh.
Otoritarianisme rezim Orde Baru antara lain ditandai dengan banyaknya kasus kasus pelanggaran HAM baik yang terselubung maupun yang terbuka. Memang pada masa itu instrumen instrumen penegakan HAM telah ada sekalipun tidak selengkap di era reformasi misalnya ketentuan ketentuan tentang HAM yang tersebar dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada, Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi Manusia yang telah disetujui dan diumumkan oleh Resolusi Majlis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948, dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdasarkan Keppres No 50 Tahun 1993 dan lain lain. Instrumen instrumen di atas ternyata tidak dapat berfungsi bagi penegakan HAM karena hukum secara umum pada masa Orde Baru hanya diajdikan alat untuk mempertahankan kekuasaan, bukan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan, atau dengan kata lain hukum pada masa itu tidak untuk ditegakkan.
Keterpurukan hukum di Indonesia menghambat penegakan HAM di negara kita sehingga kasus pelanggaran HAM yang tergolong berat hingga sekarang tidak ada yang berhasil diusut secara tuntas dan profesional dan sudah tentu hal ini sangat mengusik rasa keadilan masyarakat secara umum. Pelaksanaan dan penegakan HAM diatur dalam UU No 39 tahun 1999 dan dilaksanakannya Pengadilan Ad-Hoc, atas pelanggaran HAM di Jakarta dan Timor-Timor. Memang, pelaksanaan Pengadilan Ad Hoc atas pelanggaran HAM di Timor-Timor penuh dengan kepentingan politik. Di satu pihak pelaksanaan pengadilan Ad Hoc atas desakan PBB, di pihak lain berbenturan kepentingan penegakan HAM dengan kepentingan Nasional. Penegakan hukum harus terus dilakukan. Tragedi  Trisakti-Semanggi  mungkin  telah  menjadi  sejarah.  Namun  jangan  sampai penegakan hukum di Indonesia juga hanya menjadi cerita masa lalu. Jangan sampai suatu tindakan  pelanggaran  terlepas  dari  kaca  mata  hukum  hanya  karena  tertutup  oleh  isu-isu yang sedang hangat beredar atau adanya kepentingan tertentu.
Terlepas dari berbagai macam kelebihan dan kekurangannya, bagi kita merupakan suatu kemajuan yang sangat berarti, karena bangsa Indonesia memiliki komitmen yang tinggi atas jaminan serta penegakan HAM.


























DAFTAR PUSTAKA


Buku – Buku :
           
            Muladi, Prof. Hak Asasi Manusia ( Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat ). 2005. Bandung : PT. Refika Aditama.

            Kaligis, O.C. Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana. 2006. Bandung : Alumni.

            Budiardjo, Miriam. Dasar – Dasar Ilmu Politik. 1972. Jakarta : PT. Gramedia Puataka Utama.

            Joeniarto. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara. 1990. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

                        Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. 2008. Jakarta : Sinar Grafika.

Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. 2010. Jakarta : Sinar Grafika.

            Prinst, Darwan. Sosialisasi dan Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia. 2001. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

            Utrecht, E. Hukum Pidana I. 1958. Bandung : Universitas Padjadjaran.


Undang – Undang :

Undang – Undang Dasar 1945.
Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.


[1] Suwandi. Instrumen dan Penegakan HAM di Indonesia. 2005. Bandung : PT. Refika Aditama.hlm.39
[2] Mahfud M.D., Moh. 2001. Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
[3] Suwandi. Instrumen dan Penegakan HAM di Indonesia. 2005. Bandung : PT. Refika Aditama.hlm.43
[4] Prof.Miriam Budiardjo. Dasar – Dasar Ilmu Politik. 1972. Jakarta : PT. GramediaPuataka Utama. Hlm.126
[5] Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
[6] Joeniarto, S.H. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara. 1990. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Hlm.11.
[7] Harold J. Laski : “ The State in theory and practice “, cetakan V, The Vail-Ballou-Press U.S.A., hlm 8.
[8] Ibid : halaman 9.
[9] Mr. Drs. E Utrecht. Hukum Pidana I. 1958. Bandung. Hlm 57.
[10] Prof.Dr. jur. Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. 2008. Jakarta : Sinar Grafika. Hlm 65.
[11] Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. 2010. Jakarta : Sinar Grafika. Hlm xvi.
[12] Darwan Prinst, S.H. Sosialisasi dan Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia. 2001. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Hlm iii.
[13] Tulisan Slamet Marta Wardaya dalm buku Prof. Dr. H. Muladi, S.H. Hak Asasi Manusia ( Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat
). 2005. Bandung : PT. Refika Aditama.hlm.4.
[14] Pendapat Woro Winandi dalam tulisannya “ Reformasi Penegakan HAM di Era Globalisasi, dalam buku buku Prof. Dr. H. Muladi, S.H. Hak Asasi Manusia ( Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat ). 2005. Bandung : PT. Refika Aditama.hlm.51.
[15] Darwan Prinst, S.H. Sosialisasi dan Diseminasi Penegakan HAM. 2001. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Hlm.77.
[16] Dr.O.C.Kaligis, S.H., M.H. Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana. 2006. Bandung : Alumni. Hlm. 102.
[17] Pendapat Woro Winandi dalam tulisannya “ Reformasi Penegakan HAM di Era Globalisasi, dalam buku buku Prof. Dr. H. Muladi, S.H. Hak Asasi Manusia ( Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat ). 2005. Bandung : PT. Refika Aditama.hlm.53.

4 komentar: