Selasa, 06 Desember 2011

Jaminan Aksesibilitasi bagi Penyandang Cacat Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Terdapat batasan tentang Hak Asasi Manusia. Hendarmin Ranadireksa ( 2002 : 139 ) memberikan definisi tentang Hak Asasi Manusia pada hakekatnya adalah seperangkat ketentuan atau aturan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan penindasan, pemasungan dan atau pembatasan ruang gerak warga negara oleh negara. Artinya, ada pembatasan-pembatasan tertentu yang diberlakukan pada negara agar hak warga negara yang paling hakiki terlindungi dari kesewenang – wenangan kekuasaan.[1] Menurut Mahfud MD, Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan hak tersebut dibawa manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri ( kodrati ), bukan merupakan pemberian manusia atau negara.[2] Dari dua pendapat tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang melekat pada setiap individu sejak dilahirkan ke muka bumi dan bukan merupakan pemberian manusia atau negara yang wajib dilindungi oleh negara.
Negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa terkecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku yang tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnis, ras, warna, kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin, dan status sosial yang lain. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun horizontal (antar warga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat ( grossviolation of human rights). Kewajiban menghormati hak asasi manusia tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama yang berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan untuk beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, serta hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dan tersurat dalam Pasal 28A sampai Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945 yang yang mengatur tentang hak asasi manusia.
Komisi HAM didirikan dengan tujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM di Indonesia, serta meningkatkan perlindungan dan penegakkan Hak Asasi Manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya.[3] Berdasarkan Undang – Undang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM memiliki fungsi untuk melaksanakan pengkajian, penyuluhan, serta mediasi mengenai HAM di Indonesia.
            Dalam dunia Internasional, terdapat rumusan beberapa hak asasi yang dimuat dalam Perjanjian Hak Sipil dan Politik dan Perjanjian Hak – Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya :[4]
            Hak – Hak Sipil dan Politik mencakup antara lain :
Pasal 6             :           Right to Life – hak atas hidup.
Pasal 9             :           Right to liberty and security of person – hak atas kebebasan dan keamanan dirinya.
Pasal 14           :           Right to equality before the courts an tribunals – hak atas kesamaan di muka badan-badan peradilan.
Pasal 18           :           Right to freedom of thought, conscience and religion – hak atas kebebasan berpikir, mempunyai conscience, beragama.
Pasal 19           :           Right to holg opinions without interference – hak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan.
Pasal 21           :           Right to peaceful assembly – hak atas kebebasan berkumpul secara damai.
Pasal 22           :           Right to freedom of association – hak untuk berserikat.
            Kewajiban-kewajiban Negara, diantaranya :
1.                  Pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar bagi warga negara.[5]
2.                  Pemerintah wajib mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.[6]
3.                  Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.[7]
4.                  Fakir miskin dan anak-anak terlantas dipelihara oleh negara.[8]
5.                  Negara mengembangkan system jaminan social bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.[9]
6.                  Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak.[10]
Setiap anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk turut serta dalam pembangunan. Sebagai Warga Negara Indonesia, penyandang cacat mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya. Namun, negara memiliki kewajiban untuk memenuhi HAM bagi penyandang cacat, hal tersebut tercermin dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 dan UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 41, 42 dan 54.[11]
Maka dari itu, akan penulis uraikan permasalahan diatas yang berhubungan dengan Implementasi Kewajiban Negara dalam Pemenuhan HAM dalam Prespektif Hukum Tata Negara dengan judul “ Jaminan Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat oleh Negara Indonesia

BAB II
PERMASALAHAN

Tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju, dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi, serat memiliki etos kerja yang tinggi dan berdisiplin.
Hak-Hak asasi yang dimuat terbatas jumlahnya dan dirumuskan secara singkat. Hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam UUD 1945 tidak termuat dalam suatu Piagam yang terpisah, tetapi tersebar dalam beberapa Pasal yaitu Pasal 28A sampai Pasal 28J.[12] Dr. Hatta mengatakan bahwa walaupun yang dibentuk itu negara kekeluargaan, tetapi masih perlu ditetapkan beberapa hak dari warga negara, jangan sampai timbul negara kekuasaan ( machstaat = negara penindas ).[13]
            Setiap anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk turut serta dalam pembangunan. Sebagai Warga Negara Indonesia, penyandang cacat mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya.[14] Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan untuk melakukan kegiatan secara layaknya.
            Penyandang cacat terdiri dari tiga kelompok, yaitu :
a.                  Penyandang cacat fisik, meliputi :
a.      Penyandang cacat tubuh ( tuna daksa ).
b.      Penyandang cacat netra ( tunanetra ).
c.       Penyandang cacat tuna wicara/rungu.
d.      Penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis ( tuna daksa lara kronis ).
b.                  Penyandang cacat mental, meliputi :
a.      Penyandang cacat mental ( tuna grahita ).
b.      Penyandang cacat eks psikotik ( tuna laras ).
c.       Penyandang cacat fisik dan mental atau cacat ganda.
Jumlah penyandang cacat di seluruh Indonesia tahun 2000 sebanyak 1.548.005, dan pada tahun 2002 jumlah ini meningkat 6,97 % menjadi 1.655.912 jiwa.[15]
Jaminan atas hak dan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan para penyandang cacat telah tercantuk dalam Pasal 5 UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Yang dimaksud dengan aspek kehidupan dan penghidupan penyandang cacat dalam pasal tersebut antara lain meliputi aspek agama, kesehatan, pendidikan, social, ketenagakerjaan, ekonomi, pelayanan umum, hukum, budaya, politik, petahanan keamanan, olah raga, rekreasi dan informasi.
Dalam membicarakan hak asasi, maka timbullah pertanyaan yaitu, apakah hak asasi akan ditempatkan dalam suatu Piagam yang terpisah dari UUD, atau ia dimasukkan dalam Pasal UUD, atau cukup dituangkan dalam Undang-Undang biasa saja ?[16]
Apabila HAM itu ditempatkan dalam suatu piagam, dan Piagam ini mendahului UUD seperti halnya dengan Declaration of Independence Amerika Serikat dan Declaration des droit de I’homme et du citoyen di Perancis, maka ia akan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari UUD. Piagam tersebutakan bersifat subjektif yang harus dihormati oleh Negara, dan tidak akan terpengaruh dengan adanya perubahan terhadap UUD.[17]
Seandainya hak-hak asasi itu ditempatkan dalam Pasal-pasal UUD, maka kemungkinan besar pasal-pasal tentang HAM itu akan berubah. Menempatkan HAM dalam Undang-Undang biasa, jelas tidak menjamin kepastian bahwa ia tidak akan berubah.
Kembali kepada masalah aksesibilitasi, aksesibilitasi merupakan hal penting dalam mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala sapek kehidupan dan penghidupan. Aksesibilitasi adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam aspek kehidupan dan penghidupan.[18] Jaminan atas aksesibilitasi bagi penyandang cacat tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, antara lain ada dalam Pasal 41, 42, dan 54.
Pasal 41 :
1.                  Setiap warga negara berhak atas jaminan social yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh.
2.                  Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakukan khusus.
Pasal 42 :
“ Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. “
Pasal 54 :
“ Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. “
Dalam Pasal-Pasal diatas disebutkan bahwa anak yang cacat fisik atau mental berhak mendapatkan biaya negara untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai HAM. Dalam perkembangannya, campur tangan negara dalam bidang ekonomi, social untuk meningkatkan taraf hidup rakyatnya kembali diterima. Dari kedua konsep negara hukum ( Eropa Kontinental dan Anglo Saxon ), dapat disepakati prinsip negara hukum, yaitu :[19]
1.               Pengakuan dan perlindungan HAM.
2.               Peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak.
3.               Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.
Jaminan utama terhadap dianutnya negara hukum tersebut diletakkan dalan suatu Konstitusi atau UUD yang fungsi utamanya membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang.[20] Dengan demikian, hak-hak warga negara terlindungi.
Konstitusi atau UUD tersebut mengatur jaminan terhadap hak-hak rakyat ( termasuk didalamnya partisipasi rakyat dalam pemerintahan ) dan pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah agar kekuasaan yang dipegangnya tidak disalahgunakan. Pengaturan tersebut sering disebut sebagai pembatasan atau pembagian kekuasaan dan perumusan hak – hak asasi rakyat menghubungkan konsep negara hukum dan konsep demokrasi.[21]
Maka dari itu, Negara wajib melindungi HAM warga negaranya dan melegalkannya melalui instrument-instrumen hukum mulai dari yang tertinggi ( UUD ) hingga yang paling rendah ( Peraturan Desa ). Termasuk negara wajib melindungi HAM anak-anak cacat untuk dapat hidup layak seperti warganegara lainnya.
Pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999, mengatakan :
“ Pemerintah wajib dan bertanggungjwab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM. “
            Pemerintah harus menghormati berarti tidak melanggar HAM. Melindungi berarti menjaga agar HAM tidak dilanggar orang. Menegakkan berarti melakukan penghukuman atas orang-orang yang melakukan pelanggaran HAM, dengan mengadili pelakunya dan penjatuhan hukuman sesuai UU yang berlaku. Memajukan berarti melakukan upaya atau tindakan agar penghormatan HAM semakin baik.[22]
            Kewajiban dan tanggungjawab pemerintah ( Pasal 72 UU No 39/2009 ), meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, social, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.

BAB III
ANALISIS MASALAH

3.1       Konsep Ketatanegaraan Indonesia Berkaitan dengan Perlindungan HAM
            Konsep ketatanegaraan dalam pengertiannya tidak pernah lepas dari sejarah masing-masing negara, demikian juga demokrasinya. Bidang tersebut menjadi menjadi kajian utama dari Ilmu Hukum Tata Negara. Setiap negara modern dewasa ini selalu menyebut dirinya negara hukum dan negara demokrasi.[23] Salah satu indkasi kearah pernyataan tersebut bahwa negara-negara modern tersebut ( kecuali Inggris ) mempunyai sebuah konstitusi yang tertulis, mempunyai lembaga – lembaga perwakilan dan mempunyai lembaga-lembaga pengadilan.
            Di Indonesia, lembaga – lembaga negara dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu :[24]
1.                  Organ Utama / organ primer ( primary constitutional organs ), yaitu :
a.      Eksekutif ( Presiden dan wakil presiden ).
b.      Legislatif ( DPR, MPR, dan DPD ).
c.       Yudikatif ( MA, dan MK ).
d.      Badan Pemeriksa Keuangan.
2.                  Organ Pendukung atau Penunjang ( auxiliary state organs ) yaitu :
a.      Komisi Yudisial.
b.      Tentara Nasional Indonesia ( TNI ).
c.       Kepolisian.
d.      Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM ), dsb.
Dalam sejatah ketatanegaraan, Negara Kekuasaan ( machtstaat ) mempunyai ciri-ciri :[25]
a.                  Autoritarisme, adalah ciri yang menunjukkan kehendak untuk memerintah atau autoritas. Menolak tanggungjawab kepada rakyat atau DPR. Apabila tanggungjawab itu masih dilakukan, biasanya dilakukan dengan semu atau pura-pura.
b.                  Totalitarisme, adalah kehendak pemerintah untuk menguasai seluruh kehidupan manusia dalam masyarakat dan kebudayaan.
Dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan, negara kekuasaan mulai ambruk akibat desakan kelompok kuat yang menentang campur tangan negara dalam kehidupan masyarakat. [26]Di Eropa Kontinental perjuangan kelompok yang menentang campur tangan negara dalam kehidupan masyarakat, melahirkan konsep “ negara hukum formal / rechtstaat “ dimana unsur-unsurnya :[27]
1.                  Perlindungan HAM.
2.                  Pemisahan (pembagian) kekuasaan.
3.                  Setiap tindakan atau campur tangan pemerintah harus didasarkan pada UU yang telah ada.
4.                  Adanya peradilan administrasi.
Sedangkan di negara Anglo Saxon, dikenal dengan konsep negara hukum yang disebut “ The Rule of Law dimana unsur – unsurnya yaitu :[28]
1.                  Supremasi aturan hukum.
2.                  Kedudukan yang sama di depan hukum bagi semua warga negara.
3.                  Jaminan atas hak-hak asasi manusia yang dituangkan dalam UUD ( beberapa negara dituangkan dalam Undang-Undang ).
Dari kedua konsep diatas, dapat disimpulkan prinsip-prinsip negara hukum, yaitu :[29]
1.                  Pengakuan dan perlindungan HAM.
2.                  Peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak.
3.                  Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.
Jaminan utama terhadap dianutnya negara hukum tersebut diletakkan dalam suatu konstitusi. Konstitusi adalah sekelompok ketentuan yang mengatur organisasi negara. Hakekat konstitusi tidak lain dari perwujudan Paham Konstitualisme yaitu pembatasan kekuasaan pemerintah disatu pihak dan jaminan terhadap hak-hak warganegara maupun setiap penduduk di pihak lain. Dengan demikian diharapkan hak-hak warganegara akan lebih termindungi.
Gagasan Konstitutionalisme , yaitu :[30]
“ Gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkab akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah . “
            Konstitusi tersebut mengatur jaminan terhadap hak-hak rakyat (termasuk didalamnya partisipasi rakyat dalam pemerintahan) dan pembatasan terhadap kekuasaan yang dipegangnya tidak disalahgunakan. Pengaturan tersebut sering disebut sebagai “pembatasan” atau “pembagian” kekuasaan dan perumusan hak-hak asasi rakyat menghubungkan konsep negara hukum dan konsep demokrasi.[31]
                Rumusan suatu pemahaman tentang HAM dalam negara hukum Indonesia, adalah :[32]
1.                  HAM dilihat dalam hubungannya dengan masyarakat secara keseluruhan, dan pada saat yang sama masyarakat atau komunitas berhubungan dengan hak-hak seorang individu.
2.                  Dalam mengembangkan HAM, berarti menerima kewajiban atau tanggungjawab manusia atau “ human duties “.
3.                  HAM dipahami sebagai suatu kesatuan dan tidak bisa dipisah-pisahkan.
Istilah negara hukum telah dikenal sejak jamannya Aristoteles (junani kuno). Menurutnya, negara hukum ialah negara yang berdiri sendiri diatas hukum dan menjamin keadilan kepada warga negaranya.[33]
Hak-hak rakyat meliputi hak-hak dasar, sepeti hak hidup, hak milik, hak kesejahteraan dan kebebasan ( lock on civil government ). Adanya pembatasan kekuasaan adalah untuk melindungi hak warga negara dan melindungi hak-hak lembaga lain.
Pandangan hidup dan falsafah hukum yang dianut suatu bangsa menentukan kebijaksanaan yang akan ditempuhnya mengenai politik hukum dan mengenai penghargaan terhadap HAM. Pemuatan jaminan HAM melalui peraturan perundang-undangan disertai sanksi lebih menyentuh kepentingan pendukung hak dan memberikan kepastian hukum bagi pencari keadilan maupun penegak keadilan.[34]
Negara memiliki kewajiban untuk melindungi HAM warganegaranya seperti yang diatur dalam UUD dan UU lainnya. Namun, negara memiliki kekuasaan untuk mencabut Hak-Hak asasi warga negaranya secara sah, sebagai konsekuensi atas perbuatan yang telah dilakukan warga negara tersebut. Contohnya, Negara melalui fungsi yudikatifnya dapat merampas hak hidup seseorang dengan eksekusi Hukuman Mati. Selain itu juga, aparat kepolisian dapat menembak mati seorang teroris dalm penyergapan dan Negara dapat memberikan hukuman kurungan (penjara), tidak lain merampas hak kebebasan individu. Dalam hal ini, Negara mempunyai kekuasaan yang sah untuk merampas HAM dalam keadaan tertentu yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.
Kekuasaan artinya mampu memaksakan kehendak kepada pihak lain. Oleh karena itu, kekuasaan Negara yang tertinggi berarti kekuasaan yang tertinggi yang menentukan kehendak di dalam negara tersebut.[35] Hal tersebut disebut sebagai “kedaulatan”, dalam bahasa Inggris menyebutnya “sovereignty”.
Harold J. Laski di dalam bukunya mengemukakan :
By a state I mean a society of this kind which is integrated by possessing a coercive authority legally supreme over any individual or group which is part of the society “[36]
“ The power is called sovereignty; and it is by the possession of sovereignty that the state is distinguished from all other forms of human association. “[37]





3.2       Jaminan Aksesibilatasi Bagi Penyandang Cacat Dalam Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
Upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kedudukan, hak, kewajiban, dan peran para penyandang cacat, di samping dengan Undang – Undang tentang Penyandang Cacat, juga telah dilakukan melalui berbagai peraturan perundang – undangan, antara lain oleh Peraturan masalah :[38]
a.      Ketenagakerjaan.
b.      Pendidikan Nasional.
c.       Kesehatan.
d.      Kesejahteraan Sosial.
e.      Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
f.        Perkeretaapian.
g.      Pelayaran.
h.      Penerbangan.
i.        Kepabenan.
Permbaharuan hukum dan penegakan HAM ini dalam rangka mewujudkan civil society atau masyarakat madani.[39] Tentu saja untuk menggambarkan adanya reformasi penegakan HAM di Era Globalisasi ini diperlukan adanya perangkat hukum yang memadai, baik dari sisi peraturan perundang-undangan yang ada maupun aparat penegak hukumnya sendiri.[40]
Berbagai peraturan perundang-undangan yang memberikan jaminan aksesibilitasi bagi penyandang cacat , sebagai berikut :
a.                  Amandemen IV UUD 1945, Pasal 28 D ayat (1) :
“ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. “
b.                  UU No 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, Pasal 1 :
“ Setiap warganegara berhak atas taraf kesejahteraan social yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha kesejahteraan social. “
c.                   UU No 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, Pasal 35 (1) :
“ Penderita cacat dan/ orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam bidang angkutan kereta api. “
d.                  UU No 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 49 (1) :
“ Penderita cacat berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
e.                  UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 42 :
“ Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bemasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negara dan sebagai dasarnya perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia.[41]
Kriteria Negara Hukum menurut para ahli hukum internasional dalam konferensinya di Bangkok 1965, yaitu :[42]
1.      Perlindungan constitutional terhadap HAM.
2.      Badan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3.      Pemilihan umum yang bebas.
4.      Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
5.      Kebebasan berserikat/berorganisasi dan berposisi, dan
6.      Pendidikan Kewarganegaraan.


3.3       Aksesibilitasi Bagi Penyandang Cacat di Indonesia pada Kenyataannya
                Pemberian aksesibilitasi terhadap penyandang cacat di Indonesia belum sepenuhnya dapat terwujud. Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, bahwa upaya perlindungan belum memadai, apalagi ada prediksi terjadinya peningkatan jumlah penyandang cacat di masa mendatang.[43] Berdasarkan hasil pendataan atau survey jumlah penyandang cacat Tahun 2010 pada 9 provinsi sebanyak 299.203 jiwa.[44]
Pada kenyataannya, betapa sulit seorang penyandang cacat untuk mendapatkan hak akses fasilitas – fasilitas public, peran politik, akses ketenagakerjaan, perlindungan hukum, akses pendidikan, akses informasi dan komunikasi, serta layanan kesehatan. Fasilitas lalu lintas jalan dan alat transportasi umum di Indonesia tidak mudah di akses oleh penyandang cacat dan orang-orang berkebutuhan khusus lainnya ( wanita hamil dan lansia ). Seorang penyandang cacat tubuh sulit menyeberang jalan dengan menggunakan fasilitas penyeberang jalan dengan undakan tangga yang terlalu sempit. Seorang penyandang cacat netra akan merasa kesulitan untuk menyimak marka-marka jalan dan papan informasi umum.[45]
Aksesibilitas di bidang pendidikan bagi para penyandang cacat di Indonesia masih sangat kurang. Kemampuan pemerintah dalam menyediakan fasilitas untuk menjangkau semua anak cacat minim, karena 80 % tempat pendidikan dikelola swasta sementara pemerintah hanya 20 %. Dari 1,3 juta anak penyandang cacat usia sekolah di Indonesia, baru 3,7 % atau sebanyak 48.022 anak yang bisa menikmati bangku pendidikan. Sementara yang 96,3 % masuk dalam pendidikan non-formal, tetapi jumlahnya tidak lebih dari 2 %. Saat ini terdapat 1.338 sekolah luar biasa ( SLB ) untuk berbagai jenis dan jenjang ketunaan. Sementara jumlah siswa yang terdaftar di Direktorat Pendidikan Luar Biasa sebanyak 12.408 anak. Kesulitan dalam mendapatkan akses pendidikan dan pelatihan, mengakibatkan akses untuk memperoleh pendidikan juga tidak mudah. Selanjutnya hak itu berimplikasi pada penghasilan dan berantai pada gizi dan kesehatan generasi penerusnya.[46]
Diskriminasi bagi para penyandang cacat, salah satunya terjadi pada pelayanan perbankan. Seorang tunanetra tidak dapat secara mandiri melakukan transaksi. Tunanetra tidak dapat melakukan transaksi perbankan, karena dianggap tidak cakap hukum. Oleh karenanya, harus menguasakannya kepada orang lain (yang bukan tunanetra) dan pemberian kuasa tersebut harus disahkan notaris.[47]
Masih terjadi pengabaian hak politik penyandang cacat dalam pemilu, antara lain : 
a.                  Hak untuk didaftar guna memberikan suara.
b.                  Hak atas akses ke TPS.
c.                   Hak atas pemberian suara yang rahasia.
d.                  Hak untuk dipilih menjadi anggota legislative.
e.                  Hak atas informasi termasuk informasi tentang pemilu.
f.                    Hak untuk ikut menjadi pelaksana dalam pemilu, dsb.
Sistim pemilu yang dianut sejak tahun  1971 sampai sekarang adalah system proposional ( suara berimbang ) dan stelsel daftar dikombinasikan atau mengandung unsure-unsur system distrik dengan memperhatikan faktor geografis dan demografis antara Jawa dan luar Jawa. Sistem proposional yaitu suatu system pemilihan dimana wilayah dari negara yang menggunakan system ini terbagi atas “daerah-daerah pemilihan” dan kepada daerah-daerah pemilihan ini dibagikan sejumlah kursi yang diambil dari kursi yang tersedia di Parlemen untuk diperebutkan dalam suatu Pemilihan Umum di daerah tersebut, pembagian kursi ini biasanya didasarkan pada faktor imbangan penduduk.[48]



3.4       Mewujudkan Kesamaan Hak dan Kesempatan Bagi Penyandang Cacat
            Setiap perundang – undangan tertulis di dalamnya terkandung suatu misi atau tujuan tertentu yang hendak dicapai. Lahirnya suatu perundang – undangan tertulis baru merupakan suatu titik awal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Otto Kirchheimer, ahli konstitusi dari Jerman, yang mempunyai pendapat menarik tentang kedudukan konstitusi. Dia hubungkan konstitusi dengan suksesnya suatu revolusi atau perubahan masyarakat. Pada saat dia uraikan tentang pembaruan UUD dan demokrasi social, Kirchheimer menyatakan revolusi adalah bukan ciptaan konstitusi , tetapi konstitusi kebanyakan menjadi monument keberhasilan revolusi.[49]
            Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, dan memajukan HAM, salah satunya dalah hak-hak para penyandang cacat. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan social penyandang cacat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan bagi penyandang cacat.[50]
            Pasal 28i ayat (4) UUD 1945 :
“ Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. “
Pasal 42 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM :
“ Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bemasyarakat, berbangsa, dan bernegara. “
            Kewajiban pemerintah dalam hal ini, tidak hanya berhenti pada kebijakan formulatif ( pembuatan peraturan perundang-undangan ) saja, namun juga pada kebijakan aplikatif serta kebijakan eksekutif. Aspek substansi hukum yang menjamin aksesibilitasi bagi penyandang cacat dari sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah cukup memadai. Namun, perumusannya lebih banyak yang bersifat negative, yaitu memberikan hak-hak bagi para penyandang cacat.
            Perumusan Negatif, diantaranya jaminan hak penyandang cacat di bidang kesejahteraan social, perkeretaapian, lalu lintas jalan, penerbangan, pelayaran, kesehatan, dan pendidikan. Perumusan positif, yaitu kewajiban untuk memberikan aksesibilitas bagi penyandang cacat antara lain ada pada ketentuan tentang perlindungan anak, bangunan gedung, dan ketenagakerjaan. Pelanggaran atas kewajiban tersebut diancam dengan sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi administrasi.
            Norma-norma yang ada pada UUD harus mengalir dalam perundang-undangan di bawahnya, apakah berupa norma jabaran atau lebih kongkret. Maka, norma HAM yang terkandung dalam UUD, mempunyai dua posisi yaitu sebagai norma pengarah atau pemandu bagi hukum positif untuk mencapai cita-cita perlindungan HAM, dan sebagai norma penguji UU atau hukum positif apakah selaras dengan semangat HAM.[51] Dengan kata lain, meminjam kerangka pemikiran Gustav Radbruch,[52] seorang ahli filsafat hukum dari mahzab Beden, bahwa norma HAM yang terkandung dalam UUD berfungsi regulative maupun konstitutif. Fungsi regulative menempatkan norma HAM dalam UUD sebagai tolok ukur untuk menguji, apakah UU atau hukum positif telah selaras dengan cita-cita HAM. Sebagai fungsi konstitutif menentukan tanpa semangat HAM dalam UUD, UU atau hukum positif akan kehilangan makna sebagai hukum yang bermanfaat untuk masyarakat.
            Namun, dilihat dari aspek struktur dan budaya hukum, belum sepenuhnya menunjang bagi perwujudan kemandirian dan kesejahteraan para penyandang cacat, sehingga banyak ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan belum dapat dilaksanakan. Untuk itu perlu dilakukan Alternative Action.[53]
            Alternative Action untuk mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan bagi penyandang cacat. Penyandang cacat berhak mendapatkan perlakuan khusus. Aksi ini mengarah pada penyadaran public akan hak-hak penyandang cacat dan kewajiban mereka untuk berperan aktif dalam berinteraksi social yang sehat dan wajar. Aksi tersebut membutuhkan strategi sosialisasi yang efektif, menyangkut :
a.                  Pola penyadaran integral antar pemerintah, penyandang cacat dan masyarakat pada umumnya sehingga memunculkan suatu sinergi. Pola tersebut meliputu :
·         Peningkatan pengetahuan penyandang cacat akan hak-haknya.
·         Implementasi perundang-undangan dari tingkat pusat hingga daerah.
·         Melakukan advokasi hukum penyandang cacat dalam memperjuangkan hak-haknya.
b.                  Pola pembudayaan dari sosialisasi sinergis di atas.
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya yang disadari oleh prinsip pemihakan kepada mereka yang lemah dan di lemahkan, agar mereka mempunyai posisi tawar sehingga mampu memecahkan masalah dan mengubah kondisi dan posisinya. Pemberdayaan dalam pengertian ini meliputi langkah perbaikan kualitas hidup rakyat, yang tidak hanya diukur dari peningkatan kesejahteraan yang bersifat ekonomis, tetapi juga kuasa dalam mengambil keputusan.[54]
            Negara hukum merupakan suatu dimensi dari negara demokratis dan memuat substansi HAM, bila tidak dikuatirkan akan kehilangan esensinya dan cenderung sebagai alat penguasa untuk melakukan penindasan terhadap rakyat, juga sebagai instrument untuk melakukan justifikasi terhadap kebijakan pemerintah yang sebenarnya melanggar HAM.[55]
            Salah satu aspek kemanusiaan yang sangat mendasar dan asasi adalah hak untuk hidup dan hak untuk melangsungkan kehidupan, karena hak tersebut diberikan langsung oleh Tuhan kepada setiap manusia. Reformasi pada dasarnya merupakan usaha yang rasional dan sistematis untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar (core values) demokasi yang terdiri dari : konsistensi untuk selalu transparan dalam pengambilan keputusan publik, perlindungan dan penegakan terhadap pelanggaran HAM, peradilan bebas dan tidak memihak, penciptaan norma hukum yang aspiratif.[56]
BAB IV
KESIMPULAN

Perundang-undangan HAM dapat berlaku efektif, untuk itu diperlukan cara upaya-upaya pencanangan perundang-undangan HAM dengan baik, pelaksana dalam menunaikan tugasnya searah dan senafas sesuai dengan bunyi serta penafsiran yang telah disepakati, penegak HAM harus menuntut para pelanggarnya.[57]
Sederetan Undang – Undang yang menyangkut penyandang cacat dia atas baru merupakan titik awal dalam rangka mencapai kesamaan kesempatan dalam aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat penyandang cacat, guna mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat. Upaya mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan merupakan tanggungjawab bersama pemerintah, masyarakat, keluarga, dan penyandang cacat sendiri. Hal ini tidak akan terwujud tanpa ada suatu struktur sosial yang mendukung.[58]
            Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, dan memajukan HAM, salah satunya dalah hak-hak para penyandang cacat. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan social penyandang cacat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan bagi penyandang cacat.[59]
            Pasal 28i ayat (4) UUD 1945 :
“ Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. “
Jaminan utama terhadap dianutnya negara hukum tersebut diletakkan dalan suatu Konstitusi atau UUD yang fungsi utamanya membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang.[60] Dengan demikian, hak-hak warga negara terlindungi.
Konstitusi atau UUD tersebut mengatur jaminan terhadap hak-hak rakyat ( termasuk didalamnya partisipasi rakyat dalam pemerintahan ) dan pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah agar kekuasaan yang dipegangnya tidak disalahgunakan. Pengaturan tersebut sering disebut sebagai pembatasan atau pembagian kekuasaan dan perumusan hak – hak asasi rakyat menghubungkan konsep negara hukum dan konsep demokrasi.[61]
Maka dari itu, Negara wajib melindungi HAM warga negaranya dan melegalkannya melalui instrument-instrumen hukum mulai dari yang tertinggi ( UUD ) hingga yang paling rendah ( Peraturan Desa ). Termasuk negara wajib melindungi HAM anak-anak cacat untuk dapat hidup layak seperti warganegara lainnya.
Pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999, mengatakan :
“ Pemerintah wajib dan bertanggungjwab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM. “
            Pemerintah harus menghormati berarti tidak melanggar HAM. Melindungi berarti menjaga agar HAM tidak dilanggar orang. Menegakkan berarti melakukan penghukuman atas orang-orang yang melakukan pelanggaran HAM, dengan mengadili pelakunya dan penjatuhan hukuman sesuai UU yang berlaku. Memajukan berarti melakukan upaya atau tindakan agar penghormatan HAM semakin baik.[62]
            Kewajiban dan tanggungjawab pemerintah ( Pasal 72 UU No 39/2009 ), meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, social, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.


[1] Suwandi. Instrumen dan Penegakan HAM di Indonesia. 2005. Bandung : PT. Refika Aditama.hlm.39
[2] Mahfud M.D., Moh. 2001. Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
[3] Suwandi. Instrumen dan Penegakan HAM di Indonesia. 2005. Bandung : PT. Refika Aditama.hlm.43
[4] Prof.Miriam Budiardjo. Dasar – Dasar Ilmu Politik. 1972. Jakarta : PT. GramediaPuataka Utama. Hlm.126
[5] Pasal 31 angka 1 UUD 1945.
[6] Pasal 31 angka 3 UUD 1945.
[7] Pasal 31 angka 5 UUD 1945
[8] Pasal 34 ayat (1) UUD 1945.
[9] Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.
[10] Pasal 34 ayat (3) UUD 1945.
[11] Prof. Muladi. Hak Asasi Manusia ( Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat ). Bandung : PT. Refika Aditama. Hlm.254.
[12] Prof. Miriam Budiardjo. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Hlm 127.
[13] Paper Lembaga Pembela Hak – Hak Asasi Manusia, 28 Maret 1968, hlm 2. Lihat juga Muh.Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945 ( Jakarta : Yayasan Prapanca, 1959 ), Jilid 1, hlm. 287-289 dan 299-300.
[14] Prof. Muladi. Hak Asasi Manusia ( Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat ). Bandung : PT. Refika Aditama. Hlm.253.
[15] Data SUSENAS tahun 2000 dan 2002.
[16] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Hukum Tata Negara Indonesia. 1988. Jakarta : CV. Sinar Bakti. Hlm 321.
[17] R. Boedisoetya, Hak-Hak Asasi sehubungan dengan ketatanegaraan Republik Indonesia, karangan untuk Panitia ad hoc IV MPRS. Oktober 1966.
[18] Prof. Muladi. Hak Asasi Manusia ( Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat ). Bandung : PT. Refika Aditama. Hlm.254.
[19] Drs. H. Andi Mustari Pide, S.H. Ketatanegaraan Indoenesia dalam Konteks Demokrasi Pancasila.
[20] DR. Bagir Manan, S.H., M.CL. Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum. 1996. Jakarta : Gaya Media Pratama. Hlm 198.
[21] Drs. H. Andi Mustari Pide, S.H. Ketatanegaraan Indoenesia dalam Konteks Demokrasi Pancasila.
[22] Darwan Prinst, S.H. Sosialisasi & Diseminasi Penegakan HAM. 2001. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
[23] Drs. H. Andi Mustari Pide, S.H. Ketatanegaraan Indonesia dalam Konteks Demokrasi Pancasila.
[24] Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. 2010. Jakarta : Sinar Grafika. Hlm vii.
[25] Ciri – cirri Negara Kekuasaan menurut  Notohamidjojo.
[26] DR. Bagir Manan, S.H., M.CL. Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum. 1996. Jakarta : Gaya Media Pratama. Hlm 196.
[27] Konsep “ Recht Staat “ atau Negara Hukum menurut F.J. Stahl dan Immanuel Kant.
[28] Konsep “ Rule of Law “ menurut Dicey.
[29] Drs. H. Andi Mustari Pide, S.H. Ketatanegaraan Indonesia dalam Konteks Demokrasi Pancasila
[30] Gagasan Konstitutionalisme menurut Carl J. Friedrich.
[31] Drs. H. Andi Mustari Pide, S.H. Ketatanegaraan Indonesia dalam Konteks Demokrasi Pancasila
[32] Dr. Albert Hasibuan, S.H. Masalah Hubungan Antar Lembaga Tinggi Negara dan HAM berdasarkan UUD 1945.
[33] Mashudi, S.H., M.H. Mekanisme Kepemimpinan Nasional Lima Tahun.
[34] Pandangan – Pandangan Padmo Wahyono mengenai HAM.
[35] Joeniarto, S.H. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara. 1990. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Hlm.11.
[36] Harold J. Laski : “ The State in theory and practice “, cetakan V, The Vail-Ballou-Press U.S.A., hlm 8.
[37] Ibid : halaman 9.
[38]Uning Pratimaratri. Jaminan Aksesibilitasi Bagi Penyandang Cacat ( Sebagai Perwujudan Perlindungan Hak Asasi Manusia ). Hlm 255.
[39] Nico Schulte Nordholt. Menyongkong Civil Society dalam Era Kegelisahan, dalam Sindhunata ( Editor ), Mengenang Y.B. Mangunwijaya, Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan, Kanisius, Yogyakarta, 1999, hlm.93.
[40] Woro Winandi. Reformasi Penegakan Hak Asasi Manusia di Era Globalisasi, dalam Hak Asasi Manusia ( Editor : Prof. Dr. H. Muladi, S.H.) Bandung : PT. Refika Aditama.
[41] Mashudi, S.H., M.H. Mekanisme Kepemimpinan Nasional Lima Tahun, dalam buku Kedaulatan Rakyat, HAM dan Negara Hukum ( Editor : DR. Bagir Manan, S.H., MCL. ). Jakarta : Gaya Media Pratama. Hlm169.
[42] Kiteria Negara Hukum oleh para ahli hukum internasional ( International Commision of Jurists ) dalam konferensi di Bangkok tahun 1965.
[43] Uning Pratimaratri. Jaminan Aksesibilitasi Bagi Penyandang Cacat ( Sebagai Perwujudan Perlindungan Hak Asasi Manusia ). 2005. dalam buku Hak Asasi Manusia ( Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat ) ( Editor : Prof. Dr. H. Muladi, S.H. ). Bandung : PT. Refika Aditama. Hlm 260.
[44] Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan telah mengadakan ekspos data penyandang cacat klasifikasi ICF bekerjasama dengan PT. Surveyor Indonesia (Persero).
[45] Jakarta Mitra Online . 12/13/2001.
[46] Gloria Cyber Ministries, 2004.
[47] Uning Pratimaratri. Jaminan Aksesibilitasi Bagi Penyandang Cacat ( Sebagai Perwujudan Perlindungan Hak Asasi Manusia ),2005. dalam buku Hak Asasi Manusia ( Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat ) ( Editor : Prof. Dr. H. Muladi, S.H. ). Bandung : PT. Refika Aditama . Hlm 261.
[48] Bintan R. Saragih. Masyarakat Indonesia dan Sistem Pemilu. 1996. Dalam buku Kedaulatan Rakyat, HAM dan Negara Hukum ( Editor : Dr. Bagir Manan, S.H., MCL ). Jakarta : Gaya Media Pratama. Hlm 305.
[49] Dr. Albert Hasibuan, S.H. Masalah Hubungan Antar Lembaga Tinggi Negara dan HAM Berdasarkan UUD 1945.
[50] Uning Pratimaratri. Jaminan Aksesibilitasi Bagi Penyandang Cacat ( Sebagai Perwujudan Perlindungan Hak Asasi Manusia ),2005. dalam buku Hak Asasi Manusia ( Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat ) ( Editor : Prof. Dr. H. Muladi, S.H. ). Bandung : PT. Refika Aditama . Hlm 262.
[51] Slamet Marta Wardaya. Hakekat, Konsepsi dan Rencana Aksi Nasional HAM.
[52] Pemikiran Gustav Radbruch, berkaitan dengan konsep cita hukum atau rechtidee, juga dikutip Attamimi, Ibid.
[53] Uning Pratimaratri. Jaminan Aksesibilitasi Bagi Penyandang Cacat ( Sebagai Perwujudan Perlindungan Hak Asasi Manusia ),2005. dalam buku Hak Asasi Manusia ( Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat ) ( Editor : Prof. Dr. H. Muladi, S.H. ). Bandung : PT. Refika Aditama . Hlm 262.

[54] M. Syahbuddin Latief. 1999. Jalan Kemanusiaan, Panduan untuk Memperkuat HAM. Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama. Hlm 197.
[55] Bambang Sunggono dan Aries Harianto, 1994 : hlm 130.
[56] Joko Setiyono. Kebijakan Legislatif Indonesia ( Tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagai Salah Satu Bentuk Pelanggaran HAM yang Berat ).
[57] Pendapat GG.Howards dan Rummers dalam tulisan Hassa Suryono “ Implementasi dan Sinkronisasi HAM Internasional dan Nasional “ dalam buku Prof. Muladi “ HAM ( Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat ). 2005. Bandung : PT. Refika Aditama.
[58] Uning Pratimaratri. Jaminan Aksesibilitasi Bagi Penyandang Cacat ( Sebagai Perwujudan Perlindungan Hak Asasi Manusia ),2005. dalam buku Hak Asasi Manusia ( Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat ) ( Editor : Prof. Dr. H. Muladi, S.H. ). Bandung : PT. Refika Aditama . Hlm 264. 
[59] Uning Pratimaratri. Jaminan Aksesibilitasi Bagi Penyandang Cacat ( Sebagai Perwujudan Perlindungan Hak Asasi Manusia ),2005. dalam buku Hak Asasi Manusia ( Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat ) ( Editor : Prof. Dr. H. Muladi, S.H. ). Bandung : PT. Refika Aditama . Hlm 262.
[60] DR. Bagir Manan, S.H., M.CL. Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum. 1996. Jakarta : Gaya Media Pratama. Hlm 198.
[61] Drs. H. Andi Mustari Pide, S.H. Ketatanegaraan Indoenesia dalam Konteks Demokrasi Pancasila.
[62] Darwan Prinst, S.H. Sosialisasi & Diseminasi Penegakan HAM. 2001. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar