Selasa, 06 Desember 2011

Perkembangan HAM di ASEAN dan Eropa


PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA DI ASEAN

A.                 Latar Belakang
Pada Konferensi Dunia mengenai HAM yang dilaksanakan di Wina, Austria pada 14-15 Juni 1993 yang mengesahkan Vienna Declaration and Programme of Action of the World Conference on Human Right. Dalam konferensi tersebut menegaskan perlunya mempertimbangkan kemungkinan pembentukan sebuah pengaturan ditingkat regional dan sub regional guna memajukan dan melindungi HAM apabila hal tersebut belum ada, dalam konferensi ini seluruh anggota ASEAN turut menghadiri sebagai tindak lanjut dari konferensi ini para menteri Negara-negara Asia Tenggara bertemu di Bangkok pada bulan April 1993 dan mengesahkan Deklarasi Bangkok yang menyampaikan aspirasi dan komitmen Asia Tenggara terhadap HAM.
Maksud dan tujuan ASEAN sebagaimana ditegaskan dalam deklarasi Bangkok 1967 telah merefleksikan perhatian terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan HAM.
Deklarasi Bangkok tersebut secara tegas merujuk kepada :
ü  kemajuan sosial dan pembangunan budaya,
ü  penghormatan kepada keadilan dan hukum
ü  serta peningkatan standar hidup masyarakat.
            Tujuan-tujuan tersebut menjadi fokus dari berbagai program kerjasama fungsional yang menggambarkan keinginan kuat pemerintah di negara-negara ASEAN untuk memajukan HAM. Pembentukan Komisi HAM ASEAN merupakan pelaksanaan perintah dari ASEAN Charter yang baru diratifikasi yang tepatnya pada tanggal 15 Desember 2008, dimana pasal 14 dari piagam tersebut secara jelas memerintahkan kepada ASEAN, dalam hal ini Forum Menteri Luar Negeri ASEAN, untuk membentuk sebuah Komisi HAM ASEAN.
            KTT ASEAN di Bali, Pasal 14 Piagam ASEAN tentang Badan HAM mengisyaratkan adanya pembentukan lembaga HAM ASEAN. Ini disebutkan dalam :
ü  ayat 1 “Selaras dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip Piagam ASEAN terkait dengan pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi dan kebebasan fundamental,ASEAN wajib membentuk badan hak asasi manusia ASEAN.”
ü  ayat 2 yang berbunyi “Badan hak asasi manusia ASEAN ini bertugas sesuai dengan kerangka acuan yang akan ditentukan oleh Pertemuan para Menteri Luar Negeri ASEAN. “

B.                  Pembentukan ASEAN Intergovernmental Commision on Human Right ( AICHR )
ASEAN Intergovernmental Commission on Human Right (AICHR) adalah bagian dari pelaksanaan ASEAN Charter, dan dilantik pada 23 oktober 2009 pada saat penyelenggaraan ASEAN Summit ke-16 di Hua Hin, Thailand. Dr. Sriprapha Petcharamesree dari Thailand yang ditetapkan sebagai Ketua AICHR
Sebelum dibentuknya AICHR, tidak ada kerja sama HAM di antara negara-negara ASEAN, sehingga perlu adanya lembaga yang mengakomodir permasalahan HAM di ASEAN. Realisasi rencana pembentukan komisi HAM regional Association of South East Asia Nations (ASEAN) dilakukan dalam 42nd Meeting of the ASEAN Foreign Ministers di Thailand, para menteri luar negeri se-ASEAN telah menyepakati Term of Reference (TOR) pembentukan komisi yang diamanatkan oleh Pasal 14 Piagam ASEAN ini.
      Dalam TOR sebagaimana dikatakan bahwa, AICHR dibentuk dengan enam tujuan, yaitu :
1.      Mempromosikan serta melindungi HAM dan hak kebebasan bangsa ASEAN.
2.      Menjunjung hak bangsa ASEAN untuk hidup secara damai, bermartabat, dan makmur.
3.       Mewujudkan tujuan organisasi ASEAN sebagaimana tertuang dalam Piagam yakni menjaga stabilitas dan harmoni di kawasan regional, sekaligus menjaga persahabatan dan kerja sama antara anggota ASEAN.
4.      Mempromosikan HAM di tingkat regional dengan tetap mempertimbangkan karakteristik, perbedaan sejarah, budaya, dan agama masing-masing negara, serta menjaga keseimbangan hak dan kewajiban.
5.       Meningkatkan kerja sama regional melalui upaya di tingkat nasional dan internasional yang saling melengkapi dalam mempromosikan dan melindungi HAM.
6.      Menjunjung prinsip-prinsip HAM internasional yang tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights, Vienna Declaration serta program pelaksanaannya, dan instrumen HAM lainnya, dimana anggota ASEAN menjadi pihak.
C.                  Prinsip AICHR
TOR juga menetapkan sejumlah prinsip yang harus dijadikan rujukan AICHR dalam pelaksanaan tugasnya. Prinsip-prinsip tersebut bersumber pada :
ü  Pasal 2 Piagam ASEAN di antaranya menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas teritorial, dan identitas nasional setiap negara anggota ASEAN.
ü  Prinsip-prinsip HAM internasional antara lain prinsip universalitas, saling keterkaitan serta integralitas nilai-nilai HAM.
Kerja komisi AICHR ini terbatas. Komisi ini tidak dapat memberikan sanksi atas pelanggaran HAM yang terjadi di suatu negara dan pembahasan masalah HAM hanya dapat dilakukan dalam tingkat dialog. Komisi ini sama dengan prinsip ASEAN yakni konsensus

D.                 Mandat dan Fungsi AICHR
 AICHR berfungsi sebagai institusi HAM di ASEAN yang bertanggungjawab untuk pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN. Namun, sejauh ini, peran AICHR lebih dominan pada fungsi promosi, bukan perlindungan.
AICHR, menurut TOR, menjalankan sejumlah mandat dan fungsi, yaitu :
ü  Mengembangkan strategi dalam mempromosikan dan melindungi HAM sebagai bagian dari proses pembentukan Komunitas ASEAN.
ü  Menyusun Deklarasi HAM ASEAN dan kerangka kerja kerja sama di bidang HAM.
Setiap negara ASEAN wajib menempatkan wakilnya dalam AICHR yang dibentuk berdasarkan amanat Pasal 14 Piagam ASEAN. Indonesia menetapkan Rafendi Djamin sebagai wakil Indonesia dalam Komisi HAM antarpemerintah ASEAN (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights/AICHR).
AICHR merupakan lembaga konsultasi antarpemerintah dan bagian integral dalam struktur Organisasi ASEAN. Komisi ini bertugas, diataranya :
ü  Merumuskan upaya-upaya pemajuan dan perlindungan HAM di kawasan melalui edukasi, pemantauan, diseminasi nilai-nilai dan standar HAM internasional sebagaimana diamanatkan oleh Deklarasi Universal tentang HAM, Deklarasi Wina dan instrumen HAM lainnya.
ü  AICHR berfungsi sebagai institusi HAM di ASEAN yang bertanggungjawab untuk pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN. AICHR akan bekerjasama dengan badan-badan ASEAN lainnya yang terkait dengan HAM dalam rangka melakukan koordinasi dan sinergi di bidang HAM.

E.                  Kesimpulan
Ada tiga konsepsi dasar yang harus dipenuhi untuk membangun negara yang sejahtera, yaitu perlindungan HAM, demokrasi, dan negara hukum. Ketiga konsep ini lahir dari paham yang menolak kekuasaan absolut menyusul Renaissance yang bergelora di dunia Barat sejak abad XIII. Pemerintah berkuasa karena rakyat memberi kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan negara, agar negara dapat memberi perlindungan atas Hak-hak Asasi Manusia (HAM).
Kendati demikian, pertanyaan kritis yang selalu patut dilayangkan kepada pemerintah adalah bagaimana penegakan HAM pada tataran aplikatif. Serentetan kasus yang berkaitan dengan pelanggaran HAM masih saja terjadi di beberapa Negara kawasan Asia Tenggara sampai sekarang. Nampaknya pembicaraan tentang hak asasi manusia hanya berhenti pada wilayah diskursif di forum-forum ilmiah tanpa pernah ditindaklanjuti secara nyata.
Seiring dengan perkembangan zaman, pastilah ada pembaharuan-pembaharuan yang dapat dilakukan guna mencapai dunia yang lebih damai dan harmonis. ASEAN sebagai organisasi regional masih tergolong relative muda. Oleh sebab itu, trial and error merupakan sesuatu yang sangatlah wajar. Saat ini, penerapan HAM di ASEAN dapat dikatakan tidak efektif, namun sejalan dengan mendewasanya ASEAN, saya harap HAM di Asia Tenggara tidak hanya dipandang sebelah mata serta lebih ditegakkan.
Pembentukan AICHR ini merupakan langkah maju dari ASEAN untuk mewujudkan salah satu tujuannya yaitu memperkuat demokrasi, meningkatan tata kepemerintahan yang baik dan aturan hukum, dan memajukan serta melindungi hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental, dengan memperhatikan hak dan kewajiban negara-negara anggota ASEAN.
Pertama,ditinjau dari perspektif ASEAN, pembentukan Komisi HAM ASEAN merupakan sebuah langkah maju dalam penguatan nilai-nilai HAM di ASEAN. Pembentukan ini akan memberikan peluang yang lebih besar akan perbaikan implementasi dan penegakan HAM di ASEAN. Kedua, dilihat dari kepentingan Indonesia, Komisi HAM ASEAN dapat menjadi salah satu instrumen penguatan peran diplomasi Indonesia berbasis kekuatan norma (normative power) di kawasan Asia Tenggara.

PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) DI EROPA

                Rintisan penyusunan ha-kham (hukum hak asasi manusia) di Eropa dari pendekatan sejarah Yunani kuno, dimulai pada tahun 1949 lewat bergabungnya beberapa negara Eropa ke dalam Majelis Eropa (the council of europe). Pada tahun 1949, Committee of Minister (Panitia Menteri) dan Majelis Parlemen (Parliament Assembly) di London telah berhasil menyusun Konvensi HAM, yaitu Convention for the Protection of Human Rights anf Fundamental Freedom pada tahun 1950.
Konvensi tersebut membuktikan bahwa perekat utama disusunnya ha-kham Eropa, selain untuk memperkuat Deklarasi HAM PBB tahun 1948, juga untuk memperkuat solidaritas HAM di negara-negara Eropa. Di samping itu, bangsa-bangsa Eropa memilik persamaan pandangan dalam tradisi, ide, sejarah, dan politik. Tampaknya, langkah tersebut cukup berhasil. Terbukti dewasa ini sebagian besar negara-negara Eropa telah bergabung dalam Uni Eopa dengan satu mata uang tunggal Euro.
Materi dasar dan pengertian dasar HAM di negara-negara Eropa tidak berbeda dengan ketentuan yang telah ada di dalam Deklarasi HAM PBB. Karena itu, motif pencetusan HAM negara-negara Eropa, antara lain bertujuan memperkuat HAM PBB. Majelis Eropa telah mempunyai seperangkat instrumen Hukum, yaitu antara lain sebagai berikut:
1.       Convention for the Protection of Human Rights and Fudamental Freedom, berisi Garis-Garis Besar Perlindungan Hukum bagi seluruh warga negara dari negara anggota. Beberapa hak yang tercantum di dalam konvensi ini antara lain adalah ak hidup, kemerdekaan dan keamanan, peradilan bebas, penghormatan pribadi/keluarga, ketentraman rumah tangga, rahasia surat-menyurat, kebebasan berpikir, beragama, menyatakan pendapat, berserikat, pendidikan, dan lainnya.
2.       First Protocol to the Convention, berisi penjelasan dan penegasan dari setiap hak yang telah dimiliki oleh semua subjek hukum, sehingga setiap warga negara tidak sekedar tahu pokok-pokoknya, juga mengetahui sampai perinciannya.
3.       Second Protocol, berisi hak-hak Mahkamah HAM Eropa (The European Court of Huan Rights) untuk memberi nasihat-nasihat/pendapat hukum terhadap suatu kasus yang diajukan.
4.       Third Protocol, berkaitan dengan tata cara dan mekanisme komisi HAM Eropa (The European Commission of Human Rights).
5.       Fourth Protocol, berisi hak dan kebebasan manusia tertentu, selain yang telah dimuat dalam konvensi dan dalam The First Protocol.
6.       Fifth Protocol, berisi penjelasan lebih lanjut dengan kantor komisi HAM Eropa dan Mahkamah Eropa tentang HAM.
Di samping itu, dalam rangka pengembangan/menjaga lebih lanjut pelaksanaan ha-kham, telah dibentuk pula “Committe of Experts on Human Rights” yang bertugas antara lain:
1.         Mendata pelaksanaan sistem supervisi dari konvensi dan mempercepat tata kerjanya demi terciptanya perlindungan individu lebih negara;
2.         Membawa konvensi HAM Eropa sejalan dengan konvensi hak-hak sipil dan politik PBB;
3.         Promosi terciptanya kesadaran Eropa lebih tinggi di lingkugan nasional, internasional, dan juga di kalangan masyarakat umum.
Khusus untuk melindungi hak asasi manusia, Majelis Eropa dengan kantor pusat di Strasburg (Perancis) telah membentuk:
1.         Komisi Hak Asasi Manusia Eropa (European Commission of Human Rights);
2.         Mahkamah Hak Asasi Manusia (European Court of Human Rights); dan
3.         Panitia para Menteri (Committe of Ministers).
Komisi di atas merupakan instansi pertama bagi semua pengaduan dari seluruh anggota masyarakat baik perseorangan, organisasi swasta, dan kelompok anggota masyarakat terhadap pemerintahannya. Komisi segera bersidang untuk menilai pengaduan-pengaduan tersebut, apakah dapat diterima atau tidak. Pengaduan tidak dapat diterima bila:
1.         Permohonan tidak jelas atau sudah diputuska oleh badan-badan internasional lainnya;
2.         Belum/tidak memnuhi prosedur yang ditetapkan;
3.         Kadaluwarsa; dan
4.         Belum diputuskan oleh badan-badan pegadilan negara yang bersangkutan.
Setelah pengaduan sesuai dengan prosedur yang ada dan diterima , komisi meneruskan langah-langkah sebagai berikut:
1.         Menetapkan dan mempelajari data serta mengadakan penelitian bersama para pihak yang terlibat.
2.         Mengusahakan perdamaian (musyawarah) atas dasar penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Pada prinsipnya, bila berhasil melalui perdamaian, Komisi Hak Asasi Manusia Eropa meneruskan keputusan tersebut kepada para pihak, yaitu panitia para menteri dan Sekjen Majelis Eropa. Sebaliknya bila gagal, para pihak maupun komisi dapat meneruskan kepada mahkamah. Bila dalam waktu 3 bulan tidak diteruskan kepada mahkamah, maka panitia para menteri mengambil keputusan sendiri.
Mahkamah setelah menerima pelimpahan perkara segera mengadakan sidang, sidang sesuai dengan prosedur yang ada dan keputusan-keputusan mahkamah yang berupa pertimbangan tersebut diteruskan kepada panitia para menteri dengan pertimbangan aspek/segi hukum. Di samping itu, panitia para menteri dapat pula memberi keputusan atau resolusi terakhir ada tidaknya pelanggaran hak asasi manusia dengan pemungutan suara. Dasar hukum keputusan ada tidaknya pelanggaran terhadap hak asasi manusia, yaitu:
1.         Konvensi;
2.         Keputusan-keputusan yang telah ada (case law), baik regional maupun internasional;
3.         Praktik yang berjalan (kebiasaan internasional yang menyangkut HAM); dan
4.         Ajaran-ajaran ilmu hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar