Selasa, 06 Desember 2011

Komisi Yudisial berwenang memeriksa hakim perkara antasari karena dugaan pelanggaran kode etik hakim


BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang Penulisan
                Penegakan hukum telah menjadi ungkapan sehari-hari dikalangan masyarakat, pejabat, pengamat, mahasiswa, pelaku, dan anggota masyarakat biasa. Demikian pula kalangan pers, sangat bersahabat dngan ungkapan ini. Begitu juga ungkapan keadilan, berkeadilan atau lain-lain dengan maksud yang sama pula.
            Hampir semua ungkapan menyatakan, hingga saat ini penegakan hukum belum memuaskan. Bahkan ada yang menyatakan, penegakan hukum jauh dari rasa keasilan, karena didapati berbagai putusan penegakan hukum yang tidak mampu member kepuasan atau memenuhi rasa keadilan para pencari keadilan atau masyarakat pada umumnya.[1]
            Penegakan hukum dipandang menempati garis depan dalam berbagai masalah politik, social, ekonomi yang sedang terjadi. Anggapan masyarakat hal ini terjadi karena penegakan hukum berjalan dalam praktek KKN ( Korupsi, Kolusi, Nepotisme ), dan tidak atau kurang professional.
            Di dalam hukum dikenal suatu asas yang berbunyi Sumum ius suma iniuria ( keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi ). Maksudnya, hukum itu seperti pedang bermata dua, dari sisi pelaku apabila pelaku dibebaskan maka hal tersebut merupakan hukum yang tertinggi baginya, sebaliknya dari sisi korban pembebasan pelaku tadi menjadi ketidakadilan baginya, karena itu, keadilan bagi pelaku belum tentu merupakan keadilan bagi korban kejahatan.
Tugas penegak hukum (Hakim) adalah menjembatani antara keadilan pelaku dan keadilan bagi korban. Keseimbangan keadilan antara pelaku dan korban, akan menjadi titik temu sebagai keadilan yang sesungguhnya dengan catatan semuanya itu melalui proses yang benar dan tanpa adanya rekayasa, sebab rekayasa yang salah serta prosedur yang tidak benar juga merupakan ketidakadilan.
            Demikian pula yang terjadi dalam perkara Antasari Azhar mantan Ketua KPK ( Komisi Pemberantas Korupsi ) yang di vonis 18 tahun oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Kuasa hukum Antasari melaporkan pada Komisi Yudisial karena dianggap hakim yang memeriksa dan memutus perkara clientnya tersebut mengenyampingkan alat-alat bukti penting dan fakta-fakta persidangan. Atas laporan tersebut, maka KY memanggil hakim-hakim yang memeriksa perkara antasari untuk diperiksa. Ketua Komisi Yudisial (KY) Eman Suparman mengungkapkan pihaknya menemukan ada indikasi pelanggaran kode etik dan perilaku hakim dalam sidang kasus Antasari Azhar.
            Dalam makalah ini, penulis menganalisis apakah batasan kewenangan Komisi Yudisial dalam hal menangani dugaan pelanggaran kode etik hakim. Selain itu, apakah Komisi Yudisial dalam memeriksa hakim akibat adanya pengenyampingan alat bukti adalah termasuk kewenangannya atau melebihi kewenangannya. Untuk mengetahui lebih lanjut sejauhmana analisis dan jawaban – jawaban atas masalah – masalah tersebut, maka hasilnya akan dituangkan dalam bentuk makalah dengan judul “ PEMERIKSAAN KOMISI YUDISIAL TERHADAP DUGAAN PELANGGARAN KODE ETIK HAKIM KASUS ANTASARI DALAM HAL PENGABAIAN ALAT BUKTI “.

1.2    Identifikasi dan Perumusan Masalah
Sesuai dengan uraian pada latar belakang penulisan di atas, maka masalah pokok di dalam penulisan ini dapat diidentifikasi sebagai berikut :
Komisi Yudisial berwenang memeriksa hakim perkara antasari karena dugaan pelanggaran kode etik hakim “.
            Sebagai pembatasan masalah dalam penulisan ini, dapat dirumuskan pertanyaan – pertanyaan – pertanyaan penulisan sebagai berikut :
1.         Bagaimanakan etika profesi hukum khususnya hakim serta apa tanggungjawab  dan kewajiban hakim menurut UU No 48 Tahun 2009 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman ?
2.         Apa tugas dan wewenang Komisi Yudisial menurut UUD 1945 dan UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial ?
3.         Apakah Komisi Yudisial berwenang memeriksa hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Antasari dari tingkat pertama, banding dan kasasi, serta dihubungkan dengan Kekuasaan Kehakiman yang bebas dan merdeka ?
4.         Apa saja batasan – batasan yang diberikan pada Komisi Yudisial dalam memeriksa hakim ?

1.3              Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk :
1.         Membuktikan apakah langkah – langkah yang dilakukan KY dalam memeriksa hakim sesuai kewenangannya dalam UU yang berlaku atau tidak
2.         Menganalisis faktor – faktor eksternal apa saja yang dapat mempengaruhi hakim dalam menentukan putusan.
3.         Mengetahui hal – hal apa saja yang menjadi pertimbangan hakim di dalam menentukan putusan.

1.4       Kegunaan Penulisan
            Penulisan ini pada hakikatnya berguna :
1.                  Dari segi teoretis, analisis ini menambah ilmu pengetahuan mengenai Asas – Asas Hukum Pidana Perkembangan pada umumnya dan kewenangan Komisi Yudisial pada khususnya dan melatih kemampuan analisis mahasiswa terhadap tindakan lembaga negara yang harus sesuai dengan kewenangannya seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang.
2.         Dari segi praktis, analisis ini membuat mahasiswa dapat menjabarkan bagaimana kewenangan komisi yudisial dan pertimbangan hakim dalam menentukan putusan serta mahasiswa dapat menelaah lebih dalam fungsi dari sistem penegakan hukum yang adil.







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1       Kekuasaan Kehakiman         
Kekuasaan Kehakiman diatur dalam UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UUD 1945, UU No 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, dan UU No 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum.

2.1.1        Bebas dari Campur Tangan Pihak – Pihak di Luar Kekuasaan Kehakiman
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 :
“ Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. ”
Batas dan isi kebebasannya dipengaruhi oleh sistim pemerintahan, politik, ekonomi. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No 48 Tahun 2009 bahwa kebebasan itu tidak bersifat mutlak karena hakim menegakkan hukum dan keadilan harus berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

2.1.2        Asas Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman
ü  Pasal 2 UU No 48 Tahun 2009 :
-        Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
         Hakim dalam membacakan putusan harus menyebutkan “ Demi Keadilan Bedasarkan Tuhan Yang Maha Esa “, demikian pula saksi sebelum memberikan kesaksian di pengadilan harus disumpah terlebih dahulu.
-        Menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila
-        Semua peradilan diatur dengan Undang – Undang
         Pasal 6 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 : Tidak seorangpun dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali undang – undang menentukan lain.
-        Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan
         Sederhana, maksudnya acaranya jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit – belit.   Cepat, maksudnya pemeriksaan harus cepat selesai, tuntas, tidak hanya selesai diputus saja tetapi juga dilaksanakan. Namun, asas biaya murah belum memenuhi harapan
ü  Pasal 4 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009  :
Asas Objektivitas : Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda – bedakan orang.
ü  Pasal 8 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 :
Asas Praduga tak Bersalah : Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap ( in kracht ).

2.1.3        Pelaku Kekuasaan Kehakiman
Menurut Pasal 18 UU No 48 Tahun 2009, Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh :[2]
·         Mahkamah Agung
·         Pengadilan Umum
·         Pengadilan Agama
·         Pengadilan Militer
·         Pengadilan Tata Usaha Negara
·         Mahkamah Konstitusi
(1)               Mahkamah Agung
Kedudukan MA diatur di dalam UU No 3 Tahun 2009. Mahkamah Agung adalah puncak dari kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan TUN, dan Peradilan Militer. .Pasal 24 A UUD 1945 menyebutkan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang – undangan di bawah Undang – undang.



(2)               Peradilan Umum
Pengadilan Umum adalah pengadilan bagi rakyat pada umumnya, mengani kasus pidana dan perdata. Peradilan Umum diatur dalam UU No 49 Tahun 2009. Pengadilan Umum terdiri dari Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri ( Pasal 3 ayat (1) UU No 49 Tahun 2009 ).
ü  Pengadilan Tinggi
Pengadilan Tinggi merupakan Pengadilan banding. Pengandilan Tinggi berkedudukan di ibukota Kabupaten / kota, daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten / kota ( Pasal 4 ayat (1) UU No 49 Tahun 2009 ).
ü  Pengadilan Negeri
Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama. Pengadilan Tinggi berkedudukan di Ibukota Provinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.

(3)               Peradilan Khusus
Pengadilan khusus mengadili perkara  atau golongan rakyat tertentu.
ü  Peradilan Agama
Peradilan Agama terdiri dari Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama. Dasar Hukum peradilan agama yaitu Pasal 134 IS ( Indische Staatsregeling ), yaitu :
“ Perkara – perkara perdata antara orang orang – orang Islam….”
·                     Wewenang Peradilan Agama :
a.      Mengadili perselisihan antara suami istri yang dua duanya beragama islam.
b.      Mengadili perkara perdata antara orang Muslimin tentang Perkawinan, talak, rujuk dan penghentian perkawinan secara paksa.
c.       Menetapkan bahwa perkawinan adalah putus.
d.      Menyatakan dipenuhinya syarat suatu pernikahan bersyarat.
ü  Peradilan Militer
Peradilan Militer terdiri dari Pengadilan Tinggi Militer dan Pengadilan Militer. Peradilan Militer bertugas memeriksa dan memutuskan perkara pidana terhadap kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh :
a.      Anggota Angkatan Perang RI
b.      Seseorang yang ditetapkan oleh Presiden dan PP sama seperti point a.
c.       Orang yang tidak termasuk dalam point a, namun atas keterangan Menteri Kehakiman harus diadili oleh Peradilan Militer.

ü  Peradilan Tata Usaha Negara          
Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan khusus yang memutuskan perkara atau sengketa mengenai Hukum Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari Pengadilan Tinggi TUN dan Pengadilan TUN.

(4)               Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah satu – satunya lembaga dengan kewenangan tertinggi untuk menafsirkan UUD 1945.
Menurut Pasal 29 UU No 48 Tahun 2009 wewenang MK yaitu :
(1)   a.  Menguji UU terhadap UUD 1945.
b.   Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
c.    Memutus pembubaran Parpol.
d.   Memutus perselisihan hasil Pemilu.
(2)   e. Memutus pendapat DPR tentang impeachment presiden, sebelum diberhentikan oleh MPR.

(5)               Komisi Yudisial

Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945 :
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan menjaga serta menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. “

Komisi Yudisial merupakan komisi negara yang bersifat Independen berdasarkan konstitusi atau memiliki constitutional importance. Seperti halnya TNI dan Polri, kewenangan Komisi Yudisial juga diatur di dalam UUD 1945. Namun, karena fungsinya bersifat “ penunjang “, maka kedudukan protokolernya tidak dapat disamakan dengan MA, MK, DPR, MPR, Presiden dan Walpres. Komisi Yudisial juga diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD 1945 sebagai auxiliary organ terhadap MA

2.1.4    MA Peradilan Tertinggi
Pasal 2 UU No 3 Tahun 2009 : “ Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan lain – lain. “
Rounded Rectangle: MA                                                      




Rounded Rectangle: Peng.Tinggi TUNRounded Rectangle: Mahkamah Tinggi MiliterRounded Rectangle: Peng. Tinggi AgamaRounded Rectangle: Pengadilan Tinggi                                                                                                                                                                                   
Rounded Rectangle: Peng. TUNRounded Rectangle: Mahkamah MiliterRounded Rectangle: Peng. AgamaRounded Rectangle: Pengadilan Negeri                                                                                                                                                                                   




2.1.5    Pejabat Peradilan
a.      Hakim, bertugasmemeriksa dan memutus perkara.
b.      Panitera ( griffier ), yaitu orang yang menyelenggarakan administrasi perkara serta mengikuti semua sidang serta musyawarah Pengadilan dengan mencatat teliti semua hal yang dibicarakan dan terjadi serta relevan di persidangan. Bertugas mencatat berita acara.
c.       Sekretaris
d.      Juru Sita ( deurwaarder ), bertugas melaksanakan perintah ketua sidang dan menyampaikan pengumuman, teguran, protes dan pemberitahuan putusan pengadilan ( tertulis ).
2.2              Komisi Yudisial
Komisi Yudisial diatur dalam Pasal 25B UUD 1945. Komisi ini bersifat mandiri dan berwenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan melakukan pengawasan dalam rangja menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Anggota Komisi Yudiasial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
Pasal 24 B UUD 1945 :
(1)   KY bersifat mendiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menegakkan dan menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
(2)   Anggota KY harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
(3)   Anggota KY diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
(4)   Susunan, kedudukan, dan keanggotaan KY diatur lebih lanjut dalam UU.[3]

Pasal 2 UU No 22 Tahun 2004 :
Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya “.

            Kedudukan komisi ini ditentukan oleh UUD 1945 sebagai lembaga negara yang tersendiri karena dianggap sangat penting dalam uoaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Jika hakim dihormati karena intergritas dan kualitasnya, maka rule of law dapat sungguh – sungguh ditegakkan sebagaimana mestinya. Rule of law.
            Karena pentingnya upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim itu, maka diperlukan lembaga tersendiri yang bersifat mandiri agar pengawasan yang dilakukan dapat efektif.[4] Keberadaan lembaga baru yang akan mengawasi perilaku hakim menjadi baik (good conduct) ini diharapkan menjadi symbol mengenai pentingnya infrastruktur system etika perilaku di semua sector dan lapisan suprastruktur dan infrastruktur dalam rangka mewujudkan gagasan negara hukum dan prinsip ‘good governance’.
            Secara structural kedudukan KY diposisikan sederajat dengan MA dan MK. Namun, secara fungsional peranannya bersifat penunjang terhadap lembaga kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak hukum (code of law), melaikan lembaga penegak norma etik (code of ethics).
            Pasal 13 huruf a UU KY, KY mempunyai tugas :
1)      Melakukan pendaftaran calom Hakim Agung
2)      Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung
3)      Menetapkan calon Hakim Agung
4)      Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR
Pasal 20 UU KY :
            Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud Pasal 13B KY mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim “.
            Pasal 21 UU KY :
            Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13B , KY bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan MA dan/MK “.
            Pasal 22 ayat (1) :
a.      KY menerima laporan mesyarakat tentang perilaku hakim.
b.      Meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim.
c.       Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim.
d.      Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang di duga melanggar kode etik perilaku hakim.
e.      Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada MA dan/ MK, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
      Pelaksanaan tugas dimaksud, tidak boleh mengurangi kebesan hakim dan memeriksa dan memutus perkara. Jangan sampai mentang-mentang diberikan kewenangan untuk mengawasi perilaku hakim, komisi ini bertindak sedemikian rupa memasuki ranah substansi putusan atau melakukan hal-hal lain yang berakibat timbulnya ketakutan di kalangan hakim untuk memeriksa suatu perkara. Hal ini pada gilirannya dpat mempengaruhi sikap bebas atau kemerdekaan para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.[5]

2.3       Etika Profesi Hakim
                Hakim memiliki kekuasaaan yang besar terhadap para pihak berkenaan dengan masalah atau konflik yang dihadapkan kepada hakim.[6] Hakim dalam menjalankan tugasnya sepenuhnya memikul tanggungjawab yang besar, sebab keputusan hakim dapat membawa akibat yang snagat jauh pada kehidupan para yustiabel dan/ orang lain yang terkena jangkauan keputusan tersebut. Keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat membekas dalam batin para yustiabel yang bersangkutan sepanjang perjalanan hidupnya .[7]
Etika profesi yang harus dilakukan hakim dalam menangani perkara diantaranya sebagai berikut  :
a.      Dalam mengambil keputusan, hakim harus mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun termasuk dari pemerintah agar dapat menyelesaikan konflik secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku.
b.      Hakim harus memilih dan menentukan fakta-fakta yang relevan dan memilih kaidah hukum mana yang akan dijadikan landasan untuk menyelesaikan kasus yang ditanganinya.
c.       Hakim harus menilai secara objektif ( tidak memihak ).
Kewajiban dan tanggungjawab hakim secara yuridis formal didasarkan pada UU No 48 Tahun 2009 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaaan Kehakiman.
(1)   Tanggungjawab Hakim { 14 ayat (1) }, yaitu hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Selain itu juga, hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum { 4 ayat (1) }.

(2)   Kewajiban hakim menurut UU No 48 Tahun 2009 :
a.         Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat { Pasal 5 ayat (1) }.
b.         Hakim wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim { Pasal 5 ayat (3) }.
c.          Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan sifat yang baik dan jahat dari terdakwa { Pasal 8 ayat (2) }.
d.         Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ke tiga atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai { Pasal 17 ayat (3) }.

Kode etik hakim diatur dalam ‘ KODE KEHORMATAN HAKIM INDONESIA ‘.
Rincian mengenai sifat-sifat hakim, yaitu :
*      Adil
*      Tidak berprasangka atau berat sebelah ( memihak ).
*      Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan.
*      Memutus berdasarkan keyakinan hati nurani.
*      Sanggup mempertanggungjawabkan kepada Tuhan.
*      Jujur
*      Merdeka ( berdiri di atas semua pihak yang kepentinganya bertentangan, tidak membedakan orang.
*      Bebas dari pengaruh siapapun.
*      Sepi ing pamrih.
*      Tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukan, dll.



2.4       Putusan Pengadilan
                Pengambilan keputusan didasarkan kepada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pengadilan ( Pasal 191 KUHAP ).
Van Bemmelen menyatakan :
“ Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah mendapat keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan terdapkwa dapat dipidana “.[8]
            Dalam Penjelasan Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP, yang dimaksud dengan “ fakta dan keadaan “ ialah segala apa yang ada dan apa yang ditemukan di sidang oleh pihak dalam proses, antara lain penuntut umum, saksi, ahli, terdakwa, penasihat hukum, dan saksi korban.
      Apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan. Lebih tepatnya lagi hakim tidak melanggar Pasal 183 KUHAP.[9]
      Adapun lamanya pidana ( sentencing atau straftoemeting ) pembentuk UU memberikan kebebasan kepada hakim untuk menentukan antara pidana minimum sampai maksimum terhadap pasal yang terbukti di persidangan. Hal ini bukan berarti hakim dengan seenaknya menjatuhkan pidana tanpa dasar pertimbangan yang lengkap. Putusan hakim yang kurang pertimbangan ( onvoldoende gemotiveerd ) dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

2.5       Faktor Pokok yang Menimbulkan Ketidakpastian Hukum dalam Putusan Hakim
            Dari pengamatan sementara ada beberapa faktor pokok yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam hal hakim memberikan putusa, yaitu :[10]
v  Faktor Internal :
(1)               Kompetensi ( pengetahuan dan keterampilan ) yang rendah.
Pengetahuan dan keterampilan hakim yang tidak memadai menganai suatu objek perkara atau proses beracara, dapat menimbulkan kegaduhan atas suatu putusan , dan ketidakpastian hukum.
(2)               Integritas
Antara lain ketidaksanggupan hakim mempertahankan posisi tidak memihak , baik karena fakror korupsi, kolusi atau nepotisme atau sebab lain seperti tidak tahan terhadap tekanan yang menimbulkan rasa takut, atau kepentingan tertentu, atau didorong oleh suatu balas budi.
(3)               Penyalahgunaan makna “ kebebasan hakim “.
(4)               Penyelenggaraan peradilan yang tidak efesien, seperti minimalnya fasilitas kerja di pengadilan.
v  Faktor Eksternal :
(1)               Kegaduhan Politik
Berbagai kegaduhan politik baik di tingkat supra-struktur maupun infra-struktur dalam berbagai hal mempengaruhi kepastian hukum. Kegaduhan politik terus – menerus menimbulkan citra yang kurang baik dalam penegakkan dan penerapan hukum. Berbagai masalah hukum sering kali menjadi kompleks karena diisi dengan muatan politik.
(2)               Kegaduhan Sosial
Contoh : masyarakat beringas dan susah diatur.
Sebab kegaduhan social :
a.      Frustasi social, baik karena kesulitan pribadi maupun system kekuasaan yang tidak memberik manfaat baik unutk keamana, ketentraman, maupun kesejahteraan.
b.      Peran kekuatan social tertentu memenfaatkan frustasi social untuk mencapai tujuan atau sebagai metode bahkan alat perlawanan terhadap keadaan atau system tertentu.



2.6       Upaya Mewujudkan Sistem Peradilan Terpadu
            Dua hal yang perlu diperhatikan dalam upaya mewujudkan system peradilan terpadu :
(1)               Harus menciptakan system checks and balances antar lembaga penegak hukum, agar seluruh proses sebagai satu kesatuan dapat lebih menjamin suatu proses dan keluaran peradilan yang efesien, efektif, tepat, benar, dan adil yang akan member rasa puas baik bagi pencari keadilan atau masyarakat pada umumnya.
(2)               Tumbuhnya kesadaran bekerja sama dan rasa tanggungjawab untuk saling menunjang keberhasilan pada setiap proses peradilan.

BAB III
ANALISIS MASALAH

3.1       Kasus Posisi
            Selasa, 26 April 2011 21:08 WIB
JAKARTA: Ketua Komisi Yudisial (KY) Eman Suparman mengungkapkan pihaknya menemukan ada indikasi pelanggaran kode etik dan perilaku hakim dalam sidang kasus Antasari Azhar.
“Kami sedang menilai ada pelanggaran kode etik dan perilaku hakim yang dilakukan dalam pemeriksaan,” ujar Eman saat ditemui di seminar Politik, Hukum, HAM, dan Peradilan Indonesia di Auditorium KY, Jakarta, Selasa (26/4).
Meski menemukan indikasi pelanggaran kode etik dan perilaku hakim, Eman menegaskan pihaknya belum berencana untuk melakukan pemeriksaan terhadap hakim dalam sidang Antasari. KY baru akan memeriksa hakim setelah terkumpul semua bukti-bukti pendukung.
Eman juga menegaskan KY tidak akan memeriksa hasil putusan hakim. “Yang mesti dipahami, kami tidak dalam rangka membebaskan Antasari. Jangan disalahpahami,” tandasnya.
“Kami sedang mencari letak pelanggaran kode etik dan perilaku hakim dalam kasus itu. Masih proses panjang dan harus dilakukan hati-hati, sesuai dengan koridor yang diberikan kepada kami sesuai peraturan perundangan dan Undang-Undang KY,” lanjut Eman.
Jika dalam penyelidikan KY ternyata benar ada pelanggaran kode etik dan perilaku hakim, hakim yang melanggar akan diperiksa di Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Eman menjelaskan, menurut kode etik dan perilaku, hakim tidak boleh diintervensi oleh siapa pun, baik Mahkamah Agung (MA), uang, atau bahkan kekuasaan.
Kalau ada hakim yang sampai diintervensi, dia melanggar kode etik. “Itu yang sedang kami cari, bukan (memeriksa) soal putusannya,” kata Eman.
Terkait dengan pemeriksaan kasus Antasari, Eman enggan menjawab siapa lagi yang akan dipanggil untuk diperiksa. “Nanti dulu. Saya bukan no comment, tapi akan bisa kalau dikatakan sekarang. Ada sesuatu yang sedang kami himpun agar tidak gegabah. Jangan sampai orang luar juga bilang KY kebablasan. Kami tidak kebablasan,” pungkasnya.
Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar mengemukakan bahwa Komisi Yudisial dipersilakan memeriksan hakim, asalkan tidak memeriksa putusan pengadilan dan pokok perkara, karena itu kewenangan pengadilan.

3.2       Analisis Penulis
            Langkah yang dilakukan Komisi Yudisial saat adalah sesuai dengan kewenangannya seperti yang ditentukan dalam UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Ø  Pasal 13
Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
a. mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan
b. menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Jadi, dalam melaksanakan wewenangnya sesuai Pasal 13,  Komisi Yudisial memiliki tugas melakukan fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan keluhuran martabat serta perilaku hakim. Apabila terjadi pelanggaran etika dan perilaku hakim, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi kepada pimpinan MA atau MK. Namun, dalam melaksanakan fungsi pengawasannya KY tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Ø  Pasal 22 ayat (3) UU KY :
“ Pelaksanaan tugas yang dimaksud ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara “.
Jadi, apapun tindakan yang dilakukan KY tidak akan berpengaruh kepada putusan hakim tentang perkara Antasari ( vonis 18 tahun ), kecuali apabila terbukti adanya pelanggaran kode etik maka Tim Kuasa Hukum Antasari menjadikan hasil penilaian pelanggaran kode etik hakim tersebut menjadi dasar pengajuan PK ( Peninjauan Kembali ).
Dalam perkara Antasari, Komisi Yudisial beranggapan bahwa hakim yang menangani perkara tersebut melanggar kode etik. Komisi Yudisial beranggapan adanya hal tersebut dikarenakan terdapat pengabaian alat – alat bukti penting dan fakta - fakta di persidangan. Sehingga, Komisi Yudisial mencurigai adanya suap pada hakim tersebut. Hakim tidak boleh diintervensi oleh siapapun, baik oleh MA, uang , atau kekuasaan. Namun, semua anggapan tersebut belum terbukti karena Komisi Yudisial masih dalam proses mengumpulkan bukti – bukti yang cukup, setelah itu baru Komisi Yudisial akan memanggil hakim – hakim untuk diperiksa. Seperti diketahui, MA menolak KY untuk memeriksa persoalan adanya pengenyampingan bukti-bukti penting dalam persidangan. Sebenarnya, KY tidak memeriksa masalah pembuktian di persidangan ( bukan kewenagan KY karena mengenai pokok perkara ) , namun langkah tersebut sebagai proses untuk menemukan bukti adanya indikasi suap atau tidak serta adanya intervensi dari pihak lain atau tidak. Sebenarnya masalah untuk menemukan indikasi “ suap “ dan “ intervensi “ itu lah yang sedang ditangani oleh KY. Seperti deketahui juga KY memanggil sanksi – saksi ahli dalam perkara Anatasari  untuk diminta keterangannya, salah satunya adalah Hari ini KY meminta keterangan ahli forensik Universitas Indonesia Mun'im Idris dalam kapasitasnya sebagai saksi ahli kasus Antasari.
Kecurigaan KY karena hal – hal sebagai berikut :
(1)               Ketika bersaksi di pengadilan, Mun'im mengatakan peluru yang ditemukan dalam tubuh almarhum Nasrudin berkaliber 9 milimeter. Hal ini berbeda dengan peluru yang ditunjukkan di persidangan yang berkaliber 3,8 milimeter.
(2)               Selain itu, Mun'im juga mengakui saat jenazah Nasrudin sudah dimanipulasi terlebih dahulu sebelum dirinya melakukan autopsi. Hal ini terlihat dari luka sudah dijahit, baju saat tertembak sudah dilepas dan kepala Nasrudin sudah dicukur.
(3)               Dia juga mengatakan, saat mengeluarkan hasil autopsi dirinya sempat ditelepon Wadirserse Polda Metro Jaya yang menanyakan apakah hasil autopsi yang menyebut kaliber peluru 9 milimeter bisa diubah atau tidak.

Bisa saja ada kemungkinan latar belakang hakim melakukan hal tersebut karena sisi moralitas dan mendapat tekanan dari pihak luar. Inilah yang kita akan di dalami lagi oleh KY dengan memanggil pelapor dan saksi-saksi penting dalam sidang itu.
Dalam melaksanakan fungsi pengawasan tersebut, tahap – tahap yang dilakukan KY yaitu : ( Pasal 22  ayat (1) UU KY )
a.         Menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
b.         Meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim;
c.         Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
d.         Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan
e.         Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.

            Jika dalam penyelidikan KY ternyata benar ada pelanggaran kode etik dan perilaku hakim, hakim yang melanggar akan diperiksa di Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Menurut kode etik dan perilaku, hakim tidak boleh diintervensi oleh siapa pun, baik Mahkamah Agung (MA), uang, atau bahkan kekuasaan. Kalau ada hakim yang sampai diintervensi, dia melanggar kode etik. Sebetulnya hal tersebut yang sedang dicari KY, sehingga sejauh ini KY tidak melampaui batas wewenangnya.
            Dalam melaksanakan fungsi pengawasannya, KY wajib :  ( Pasal 22 ayat (2) UU KY )
a.         Menaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan perundang- undangan;dan
b.         Menjaga, kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota.

Ø  Pasal 23 UU KY :
(1)        Sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, usul penjatuhan sanksi terhadap hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. pemberhentian sementara; atau
c. pemberhentian.
(2)        Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a beserta alasan kesalahannya bersifat mengikat, disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi.
BAB IV
KESIMPULAN

Langkah – langkah yang dilakukan KY saat ini tidak melampaui wewenangnya seperti yang ditentukan UU No 22 Tahun 2004,  namun KY tidak boleh memeriksa putusan dan pokok perkara, karena itu merupakan wewenang Mahkamah Agung.
Berkaitan dengan dugaan pengenyampingan bukti-bukti penting dalam persidangan oleh hakim, baik Komisi Yudisial maupun Mahkamah Agung tidak mentolerir jika terjadi kekhilafan atau ketidaksengajaan yang dilakukan terkait pengabaian alat bukti penting.
Hakim tidak boleh khilaf karena dalam kode etik, kehati-hatian, kecermatan itu harus dikedepankan dan dia pasti kena sanksi. Karena itu beratlah kalau jadi hakim. Karena yang diadili ini orang. Justice for all.
Menurut KY, pengabaian bukti itu merupakan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim, khususnya prinsip profesionalitas dan kehati-hatian. Dalam Kode Kehormatan Hakim, hakim harus jujur, merdeka ( berdiri sendiri di semua pihak yang berkepentingan bertentangan, tidak membedak-bedakan orang ), bebas dari pengaruh siapapun, sepi ing pamrih ( tidak mengenal pamrih ), dll.
            Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut :
1.                  Etika profesi yang harus dilakukan hakim dalam menangani perkara diantaranya sebagai berikut  :
d.      Dalam mengambil keputusan, hakim harus mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun termasuk dari pemerintah agar dapat menyelesaikan konflik secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku.
e.      Hakim harus memilih dan menentukan fakta-fakta yang relevan dan memilih kaidah hukum mana yang akan dijadikan landasan untuk menyelesaikan kasus yang ditanganinya.
f.        Hakim harus menilai secara objektif ( tidak memihak ).
Kewajiban dan tanggungjawab hakim secara yuridis formal didasarkan pada UU No 48 Tahun 2009 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaaan Kehakiman.
(3)   Tanggungjawab Hakim { 14 ayat (1) }, yaitu hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Selain itu juga, hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum { 4 ayat (1) }.
(4)   Kewajiban hakim menurut UU No 48 Tahun 2009 :
e.      Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat { Pasal 5 ayat (1) }.
f.        Hakim wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim { Pasal 5 ayat (3) }.
g.      Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan sifat yang baik dan jahat dari terdakwa { Pasal 8 ayat (2) }.
h.      Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ke tiga atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai { Pasal 17 ayat (3) }.
2.         (a) Wewenang KY berdasarkan UU No 22 Tahun 2004, yaitu : menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 13 huruf b).
            (b)  Tugas KY yaitu melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim ( Pasal 20 UU KY, Pasal 40 UU Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 24B UUD 1945 ).
3.         Pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim dapat diterima sebagai kewenangan KY. Sedangkan pemeriksaan terhadap pengabaian bukti-bukti penting yang dilakukan hakim dalam penanganan perkara, karena hal tersebut tentunya mempunyai pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar serta dapat dipertanggung-jawabkan, maka itu merupakan kewenangan MA untuk memeriksanya apabila diajukan PK oleh terpidana. KY hanya berwenang memeriksa hakim dalam hal adanya pelanggaran kode etik seperti hakim menerima suap dan tidak objektif ( memihak ) dalam memeriksa perkara. Apabila dihubungkan dengan kekuasaan kehakiman  yang merdeka ( Pasal 24 UUD 1945 ), maka KY bertugas sebagai pengawas eksternal terhadap perilaku hakim berdasarkan kode hakim dan pedoman perilaku hakim. Namun, pelaksaan tugas KY tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara { Pasal 41 ayat (2) }. Jadi, KY tidak boleh mempengaruhi putusan hakim.
4.         Batasan – batasan KY dalam memeriksa hakim diantaranya :
            a.   KY dalam fungsi pengawasannya tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara { Pasal 41 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman }.
            b.   Dalam melaksanakan pengawasannya KY wajib menaati norma dan peraturan perundang-undangan, berpedoman kepada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, serta menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang diperoleh { Pasal 41 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman }.
            c.   KY dapat menganalisis putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim { Pasal 42 UU Kekuasaan Kehakiman }.
            d.   KY boleh memeriksa hakim asalkan tidak masuk pokok perkara dan tidak menilai putusan hakim.


DAFTAR PUSTAKA

Buku – Buku :
K. Lubis S.H. Suhrawardi. 2006. Etika Profesi Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.
Manan, Bagir. 2005. Sistim Peradilan Berwibawa. Jakarta : FH UII Press Yogyakarta.
Asshiddiqie, Jimly. 2010. Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta : Sinar Grafika.
Mertokusumo, Sudikno. 2009. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta : Liberty.
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.
Mulyadi, Lilik. 2006. Hukum Acara Pidana. Jakarta : PT. Sinar Adiyta Bakti.
Undang – Undang :
UUD 1945.
UU No 48 Tahun 2009 tentang Pokok – Pokok Kekuasaan Kehakiman.
UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.


[1] Bagir Manan, Sistim Peradilan Berwibawa, 2005, Yogyakarta : FH UII Press, hlm.1.
[2] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. 2009. Yogyakarta : Liberty.
[3] UU No 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial ( Lembaran Negara RI Tahun 2004 No 89, Tambahan Lembaran Negara No 4415 ) diundangkan pada tanggal 13 Agustus.
[4] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, 2010, Jakarta : Sinar Grafika, hlm.158.
[5] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, 2010, Jakarta : Sinar Grafika, hlm.163.
[6] Mochtar Kusuma Atmadja, 1974 : 17.
[7] Arie Sidharta, 1992 : 110.
[8] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, 2008, Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 286.
[9] Lilik Mulyadi, S.H., M.H. Hukum Acara Pidana. 2006. Jakarta : PT. Citra Aditya Bakti. Hlm. 148.
[10] Bagir Manan, Sistim Peradilan Berwibawa, 2004, Jakarta : FH UII Press, hlm. 75.

1 komentar:

  1. makasih sudah membantu, sangat menarik dan juga bermanfaat. nice posting . ingin tambah wawasan klik disini juga yaa :) Hukum Membuat Negara Menjadi Jaya

    BalasHapus