Selasa, 06 Desember 2011

Penegakan Hukum Pidana masa HIR dan KUHAP


BAB I
PENDAHULUAN
1.1        Latar Belakang Penulisan
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945, yang menjunjung Hak Asasi Manisia serta menjamin segala hak warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.[1]
Sebelum UU Nomor 8 Tahun 1981 atau dikenal sebagai Hukum Acara Pidana berlaku, Indonesia menggunakan ketentuan HIR ( Het Inlands Reglement ). HIR menggunakan sistem Inquisitoir dimana terlanggarnya HAM bagi tersangka. Setelah berlakunya KUHAP, sistem berubah menjadi Accusatoir yang lebih menjamin ditegakkannya HAM bagi tersangka. Pada hakikatnya, upaya mengimplementasikan HAM ke dalam KUHAP adalah berusaha menempatkan keadilan dan kemanusian sebagai nilai tertinggi.
Selama berlakunya HIR di Indonesia, terjadi suatu Upaya Paksa dari para penegak hukum ( polisi, jaksa, hakim ) yang dalam hal ini sering melanggar HAM tersangka/terdakwa, dilakukan dengan kekerasan ( violence ) dan penyiksaan ( torture ).[2] Sejak berlakunya KUHAP di Indonesia, sistem pemeriksaan berubah menjadi accusatoir dimana lebih melindungi HAM tersangka dan tidak menggunakan kekerasan.
Namun, penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari sempurna. Kelemahan utama buka pada sistem hukum dan produk hukum, tetapi pada penegakan hukum. Penegakan hukum dan pelaksanaan hukum belum berjalan sesuai dengan prinsip keadilan dan kebenaran. Kekurangan KUHAP yang masih ditemukan dalam praktik yaitu soal “penyiksaan” dan “kekerasan”. Kemajuan ekonomi dapat menimbulkan kejahatan antara lain Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Perbankan, Tindak Pidana Lingkungan, dll, yang pada kenyataannya di Indonesia terdapat kendala untuk melakukan pengusutannya karena banyak kepentingan – kepentingan orang petinggi yang dilindungi. Artinya, Pasal – Pasal di dalam KUHAP masih banyak yang tidak efektif.
            Dalam makalah ini, penulis menganalisis bagaimana terdapat skenario – skenario dibalik hukum pidana yang ditegakkan di Indonesia sewaktu berlakunya HIR dan setelah berlakunya KUHAP. Pidana sandiwara yang mengorbankan keadilan milik orang kecil dan menguntungkan bagi orang yang mempunyai kekuasaan. Dimanakah letak asas praduga tidak bersalah dan persamaan dimuka hukum ? Untuk mengetahui lebih lanjut sejauhmana analisis dan jawaban – jawaban atas masalah – masalah tersebut, maka hasilnya akan dituangkan dalam bentuk makalah dengan judul “ Sistem Peradilan Pidana serta Pidana Sandiwara di Indonesia. “

1.2        Identifikasi dan Perumusan Masalah
Sesuai dengan uraian pada latar belakang penulisan di atas, maka masalah pokok di dalam penulisan ini dapat diidentifikasi sebagai berikut :
“ Terlanggarnya HAM saat Berlakunya HIR dan KUHAP Belum Bisa Menjamin Ditegakkannya Keadilan serta Transparasi Masalah Pidana di Indonesia karena akibat Penegakan Hukum Belum Berjalan Sesuai Prinsip Keadilan dan Kebenaran  “.
Sebagai pembatasan masalah dalam penulisan ini, dapat dirumuskan pertanyaan – pertanyaan – pertanyaan penulisan sebagai berikut :
1.      Bagaimana sistem pemeriksaan yang dianut HIR dan UU Nomor 8 Tahun 1981 ( KUHAP ), serta sistem apakah yang dianut Indonesia sekarang ?
2.      Apa saja yang termasuk dalam Ilmu – Ilmu Pembantu dalam Hukum Acara Pidana ?
3.      Bagaimana proses penyelidikan dan penyidikan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia ?
4.      Apa saja yang menjadi alat bukti dan barang bukti dalam Tindak Pidana ?
5.      Bagaimana jalannya Pidana Sandiwara yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam kasus Pembunuhan Dice dan Pemerkosaan Sum Kuning ?

1.3    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk :
1.            Menganalisis perbedaan antara sistem hukum pidana menurut HIR dan KUHAP.
2.            Mengetahui Ilmu – Ilmu pembantu dalam menerapkan Hukum Acara Pidana.
3.            Mengetahui proses penyelidikan dan penyidikan yang diatur dalam KUHAP.
4.            Menguraikan perbedaan dan macam – macam Alat Bukti dan Barang Bukti dalam Hukum Acara Pidana.
5.            Menganalisis kejanggalan dalam penerapan Hukum Acara Pidana pada kasus pembunuhan Dice dan kasus pemerkosaan Sum Kuning dan membandingkan dengan ketentuan – ketentuan menurut Undang – Undang yang seharusnya dilakukan oleh aparat penegak hukum.

1.3        Kegunaan Penulisan
Penulisan ini pada hakikatnya berguna :
1.            Dari segi teoretis, analisis ini menambah ilmu pengetahuan mengenai Hukum Acara Pidana pada umumnya dan Sistem Hukum Acara Pidana dan Prakteknya pada khususnya dan melatih kemampuan analisis mahasiswa terhadap masalah - masalah tersebut.
2.            Dari segi praktis, analisis ini membuat mahasiswa dapat menjabarkan bagaimana perbedaan antara teori dan praktek dalam menerapkan hukum serta mahasiswa dapat menelaah lebih dalam tentang proses beracara menurut Undang – Undang yang berlaku.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Hukum Acara Pidana dan Ilmu – Ilmu Pembantu
Ø  Definisi dari Hukum Acara Pidana ( Hukum Pidana Formil ) menurut beberapa ahli, diataranya :
a)      R. Susilo , yaitu cara bagaimana harus diambil tindakan – tindakan jikalau ada sangkaan, bahwa telah terjadi suatu tindak pidana.
b)      D. Simons , yaitu aturan yang mengatur tentang bagaimana negara melalui alat – alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.[3]
c)Van Bemmelen, yaitu Ilmu Hukum acara pidana mempelajari peraturan – peraturan yang diciptakan oleh negara karena adanya ( dugaan ) pelanggaran undang – undang pidana, yaitu sebagai berikut :
1.      Negara melalui alat – alatnya menyidik kebenaran.
2.      Menyidik pelaku perbuatan itu.
3.      Mengambil tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan menahannya.
4.      Mengumpulkan bahan – bahan bukti yang telah diperoleh.
5.      Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib.
6.      Upaya hukum untuk melawa keputusan tersebut.
7.      Melaksanakan putusan hakim.
d)      Wijono Prodjodikoro, yaitu suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan – badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.[4]

Ø  Ilmu – Ilmu Pembantu Hukum Acara Pidana :
1)      Logika, bagian dari hukum acara pidana yang membutuhkan pemakaian logika yaitu masalah pembuktian dan metode penyelidikan.
2)      Psikologi, dalam pemeriksaan pendahuluan, terutama dalam introgasi tersangka, penyidik  harus menguasai pengetahuan psikologi.
3)      Kriminalistik, dibutuhkan untuk melakukan rekontruksi terhadap fakta – fakta oleh hakim.
4)       Psikiatri, untuk meneliti hal – hal yang abnormal.
5)      Kriminologi, untuk mengetahui sebab atau latarbelakang kejahatan.
6)      Hukum Pidana Materiil ( KUHP )
7)      Toscicology ( Ilmu Tentang Racun )
8)      Batistik ( Ilmu Tentang Senjata )
9)      Stipkunde ( Ilmu tentang Tulis Menulis )
10)  Forensik ( Ilmu tentang Visum )

2.2        Asas Praduga Tidak Bersalah dan Persamaan Kedudukan Dalam Hukum
A.           Asas Praduga Tidak Bersalah ( Presumtion of Innocence )
Ketentuan mengenai asas praduga tidak bersalah tercantum dalam Pasal 8 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman :
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap “.
Dalam UU Tindak Pidana Korupsi Pasal 17 ayat (1) yang memuat asas ini, yaitu :
“ Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi “.
Ø  Asas ini mencakup perlindungan terhadap :
1)      Perlindungan terhadap tindakan sewenang – wenang dari pejabat negara
2)      Bahwa pengadilanlah yang berhak menentukan salah tidaknya terdakwa
3)      Bahwa sidang pengadilan harus terbuka
4)      Bahwa tersangka/terdakwa harus diberikan jaminan untuk dapat membela diri sepenuh – penuhnya.


Dalam praktik, pengertian dan tujuan asas praduga tidak bersalah tersebut sering diartikan rancu. Beberapa pihak mengartikan bahwa seseorang tidak dapar dijadikan tersangka, tidak dapat ditahan, ditangkat dan seterusnya karena bertentangan dengan asa praduga tidak bersalah.[5] Tujuannya hanya untuk melindungi seseorangdari proses pemeriksaan oleh penegak hukum yaitu kepolisian atau kejaksaan. Contohnya : kemajuan pembangunan ekonomi menimbulkan meningkatnya kejahatan, antara lain tindak pidana korupsi, tindak pidana perbankan, tindak pidana lingkungan dan tindak pidana korporasi. Pada kenyataannya, tindak pidana khusus seperti itu di Indonesia terdapat kendala untuk melakukan pengusutannya. Misalnya saja terdakwa kasus korupsi Gayus Tambunan yang kekayaannya mencapai 100 Milyar yang sampai detik ini belum jelas penyelesaiannya, dan masih banyak lagi kasus korupsi yang beritanya menghilang di Indonesia.
Apabila sungguh – sungguh berlandaskan asas praduga tidak bersalah, seharusnya tidak ada kendala untuk menangani kasus diatas. Sebagai seorang yang dinyatakan belum bersalah, seharusnya ia mendapatkan haknya untuk mendapatkan pemeriksaan tahap penyidikan, pemeriksaan di pengadilan dan mendapatkan putusan seadil – adilnya. Selain itu, berhak diberitahu apa yang di dakwakan terhadapnya, hak menyiapkan pembelaan, mendapat bantuan hukum, dan hak mendapat kunjungan keluarga sesuai dengan UU No 8 Tahun 1981.
Fenomena menunjukkan bahwa hak – hak tersangka dan terdakwa sering terabaikan, karena Pasal – pasal dalam KUHAP ( UU No 8 Tahun 1981 ) belum dapat mengakomodasi perlindungan HAM mereka.
B.      Asas Persamaan di Muka Hukum ( Equality Before the Law )
·         Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan :
“ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya “.
·         Pasal 4 (1) UU No 48 Tahun 2009 ( Kekuasaan Kehakiman ) :
“ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda – bedakan orang “.

·         UU No 8 Tahun 1981 ( KUHAP ) di bagian Menimbang huruf a :
“…. Menjunjung tinggi HAM serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan tidak ada kecualinya “.

2.3        Sistem Pemeriksaan HIR dan KUHAP
      Sistim atau asas pemeriksaan yang diberlakukan saat HIR yaitu Inquisitoir, sedangkan pada KUHAP adalah accusatoir. Berikut ini penjelasannya ;
2.3.1    Sistem Inquisitoir
               Ciri – ciri sistem ini :
a.      Memandang tersangka/terdakwa sebagai objek
b.      Kedudukan tersangka/terdakwa tidak sederajat dengan pemeriksa
c.       Terjadi pelanggaran HAM dalam proses pemeriksaan
Asas inquisitoir dianut HIR untuk pemeriksaan pendahuluan. Asas inquisitoir ini sesuai dengan pandangan bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting.
ü  Pasal 164 HIR :
“ Maka yang disebut bukti, yaitu : - Bukti surat
-          Bukti saksi
-          Sangka
-          Pengakuan
-          Sumpah
Dalam pemeriksaan, pemeriksa berusaha mendapatkan pengakuan dari tersangka. Kadang – kadang untuk mencapai maksud tersebut pemeriksa melakukan tindakan kekerasan atau penganiayaan. Sesuai dengan HAM yang sudah menjadi ketentuan universal, asas inquisitoir ini ditinggalkan oleh banyak negeri yang beradab. Kecuali di Inggris, Irlandia, dan Singapura dimana sistem pemeriksaan akusator telah bergeser kepada siatem inkuisitor.[6] Selaras dengan itu, pembuktian menurut KUHAP, dimana alat – alat bukti berupa pengakuan diganti dengan “ keterangan terdakwa “, dan ditambah berupa keterangan ahli.[7]

                        Pada sistem inquisitoir, jaminan serta perlindungan terhadap hak asasi tersangka dan terdakwa belum memadai, artinya sering terjadi pelanggaran hak asasi dalam bentuk kekerasan dan penyiksaan pada tahap pemeriksaan penyidikan. Tidak ada jaminan bantuan hukum, dan pemberian ganti rugi tidak ada ketentuannya. Perlakuan para penegak hukum terhadap mereka masih sewenang – wenang dan tidak ada tindakan hukum yang tegas bagi pelanggaran hak asasi mereka.

         2.3.2    Sistem Accusatoir
Kebebasan memberi dan mendapatkan penasihat hukum menunjukkan bahwa KUHAP telah dianut sistem akusator, walaupun dalam praktek masih ada pelanggaran maka disebut accusatoir belum penuh ( gemateg accusatoir ).. Hal ini berarti, perbedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada dasarnya telah dihilangkan.
Ø  Ciri – Ciri sistem akusator :
1.      Tersangka/terdakwa dipandang sebagai subjek.
2.      Kedudukan tersangka/terdakwa sederajat dengan pemeriksa.
3.      Menjaga Hak Asasi tersangka/terdakwa.
Tersangka dipandang sebagai subjek dan berhak memberikan keterangan secara bebas dalam mengajukan pembelaan.  Sistem pembuktian menurut KUHAP, dimana alat – alat bukti berupa “ pengakuan “ diganti dengan “ keterangan terdakwa “, dan ditambah dengan keterangan ahli. Untuk mengimbangi perubahan sistem pemeriksaan dan pembuktian ini, para penegak hukum dituntut agar menguasai segi – segi tekhnis hukum dan ilmu – ilmu pembantu acara pidana seperti kriminalistik, kriminologi, kedokteran forensik, antropologi, psikologi, dll.
Ø  Pasal 54 KUHAP :
“ Guna kepentingan pembelaan, tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum …. “
Salah satu hak tersangka/terdakwa yang sering dipermasalahkan dalam sistem akusator adalah hak untuk menjawab atau tidaknya pertanyaan yang diajukan penyidik, penuntut umum dan hakim.
Ø  Pasal 52 KUHAP :
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim “.
Dalam penjelasan pasal tersebut, tidak dijelaskan apakah tersangka atau terdakwa berhak diam tidak menjawab pertanyaan.
Supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya, tersangka/terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu, wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan kepada tersangka atau tersakwa “.
Menurut pendapat Mardjono, hak – hak yang diberi oleh KUHAP bukan kepada tersangka/terdakwa sebagai “pelanggar hukum”, namun sebagai “manusia” karena seorang tersangka/terdakwa belum tentu bersalahseperti yang dilaporkan, diadukan atau didakwakan.[8]
Disitulah pentingnya perlindungan HAM terhadap etrsangka/terdakwa. Dalam hal itu, bagaimana jika seseorang mengalami penderitaan karena pemeriksaan yang berlangsung lama sedangka ia tidak bersalah seperti kasus Sengkon dan Karta. Penegak hukum diberi wewenang tertentu oleh KUHAP yang langsung mengurangi hak kebebasan tersangka/terdakwa, seperti penahanan, penggeledahan, penyitaan barang, dll. Tindakan tersebut merupakan upaya paksa yang dilakukan penegak hukum dalam rangkaian proses peradilan pidana yang dalam pelaksanaannya seharusnya memperhatikan HAM.[9]
Dari uraian diatas dapat dikemukakan fakta, antara lain bahwa semenjak lahirnya UU No 8 Tahun 1981 ( KUHAP ), terdapat beberapa hal yang dianggap inovasi dalam prespektif hukum acara pidana, diantaranya adalah persoalan bantuan hukum terhadap tersangka ( Pasal 50 – 68 KUHAP ). Meskipun telah termuat secara rinci aturan tentang bantuan hukum dan pengaturan cara pemeriksaan selama proses penyidikan ( Pasal 52 diakaitkan dengan Pasal 117 ayat 1 KUHAP ), tidak terlihat adanya pengaturan tentang struktur dan lembaga pencegah, penindak dan akibat hukumnya terhadap pemeriksaan secara “ kekerasan ” dan “ penyiksaan “ selama proses penyidikan.
Metode pemeriksaan secara “ kekerasan “ dan “ penyiksaan “ oleh penyidik, akan mempengaruhi hasil kerja subsistem lainnya ( jaksa, hakim dan LP ) karena mereka saling berkaitan. Perusakan cara kerja salah satu subsistem tersebut, tentunya akan mengagalkan tujuan sistem peradilan pidana, misalnya tidak tercapainya penyelesaian suatu kasus kejahatan, sehingga pelaku terpaksa dipidana atas pelanggaran prosedural pemeriksaan ( misalnya keterangan tersangka diperoleh secara kekerasan dan penyiksaan ), walaupun mungkin saja ia tidak bersalah.
Dengan tidak terdapatnya pengaturan dalam KUHAP tentang struktur dan lembaga sebagai pencegah, penindak dan akibat hukum terhadap pemeriksaan secara kekerasan dan penyiksaan terhadap tersangka ( saksi ), “kekosongan” tersebut diberikan peranannya kepada hakim untuk yurisprudensi dan legislatif untuk memperbagarui KUHAP. Perlunya lembaga pengawasan ini sangat mendesak, yang nantinya mempunyai kewenangan sebagai examinating judge dan investigating judge layaknya lembaga Habeas Corpus ( di Inggris ) dan Rechter Commisaris ( Belanda ).
Dalam Pasal 77 KUHAP disebutkan bahwa Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutuskan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undnag – Undang tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Dalam praktik, lembaga pengawasan “ Pra Peradilan “ ini tidak memiliki kewenangan pengawasan yang meliputi tindakan “menyimpang” penyidik.

2.4        Penyelidikan dan Penyidikan 
2.4.1    Penyelidikan 
Ø  Pasal 1 angka 5 KUHAP :
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikanan..”
Ø  Pasal 1 angka 5 KUHAP :
“ Penyelidik adalah pejabat polisi negara RI…"
Ø  Wewenang Penyidik :
1)      Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya Tindak Pidana.
2)      Mencari keterangan dan barang bukti.
3)      Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.

Wewenang penyelidikan hanya pada POLRI karena :
ü  Menyederhanakan dan kepastian hukum pada masyarakat tentang kepada siapa mereka mengadu.
ü  Agar tidak tumpang tindih dalam fungsinya, seperti pada masa HIR.
ü  Agar tidak terjadi pemborosan keuangan oleh beberapa instansi.
Berdasarkan perkembangan, KPK ( Komisi Pemberantas Korupsi ) berwenang melakukan penyelidikan terhadap Tindak Pidana Khusus yaitu Tindak Pidana Korupsi ( Dasar hukum Pasal 284 KUHAP ).

         2.4.2    Penyidikan
                     Istilah penyidikan yaitu opsporing ( Belanda ), investigation ( Inggris ), penyiasatan atau siasat ( Malaysia ). Dalam bahasa Belanda, menurut de Pinto menyidik berarti “ Pemeriksaan permulaan oleh pejabat – pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh Undang – Undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum “.[10]
Ø  Pasal 1 angka 2 KUHAP :
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. “
Bagian – bagian yang menyangkut penyidikan antara lain :
a.      Ketentuan tentang alat – alat penyidik
b.      Ketentuan tentang diketahuinya terjadi delik.
c.       Pemeriksaan di tempat kejadian.
d.      Pemanggilan tersangka atau terdakwa.
e.      Penahanan sementara.
f.        Penggeledahan.
g.      Pemeriksaan atau Interograsi.
h.      Berita acara ( penggeledahan, interograsi, dan pemeriksaan di tempat ).
i.        Penyitaan.
j.        Penyampingan perkara.
k.       Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan ( P 19 & P 21 )

Diketahui Terjadinya Delik
Ø  Penyidik dapat mengetahui Tindak Pidana dengan cara :
1.      Laporan ( Pasal 1 butir 24 KUHAP )
2.      Aduan ( Pasal 1 butir 25 KUHAP )
3.      Tertangkap Tangan ( Pasal 1 angka 19 KUHAP ), yaitu tertangkapnya seseorang sewaktu melakukan tindak pidana, sesaat setelah tindak pidana dilakukan, setelah diseruka khalayak ramai, dan sesaat kemudian ditemuka benda yang diduga keras untuk melakukan tindak pidana.
4.      Penyidik tahu sendiri

Ø  Perbedaan Laporan dan Aduan
1.      Laporan : - Boleh dilakukan oleh semua orang
                - Laporan tidak bisa dicabut
                - tentang semua jenis tindak pidana
                - dapat dilakukan setiap waktu
                     2. Aduan    :  - Pelapor hanya oleh korban
                                           - hanya untuk tindak pidana tertentu ( kesusilaan dan KDRT )
                                           - Aduan tidak bisa dicabut
                                          - Pengaduan mempunyai jangka waktu tertentu

               Pemeriksaan di Tempat Kejadian
                  Pemeriksaan ditempat kejadian sering dilakukan pada delik tertangkap tangan.
Ø  Pengecualian tempat yang tidak boleh dimasuki saat tertangkap tangan ( Pasal 35 KUHAP ) :
1.      Ruangan MPR, DPR, DPRD dimana sedang berlangsung rapat.
2.      Tempat dimana sedang berlangsung peribadatan.
3.      Ruangan tempat kejadian sangat berkaitan dengan penggeledahan

Pemanggilan Tersangka dan Saksi
Pasal 145 KUHAP tentang syarat sah pemanggilan terdakwa, yaitu :
ü  Surat panggilan disampaikan ke tempat tinggal terdakwa, apabila tidak diketahui maka disampaikan ke tempat tinggal terakhir.
ü  Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya dan tempat tinggal terakhir, maka disampaikan kepada Kepala Desa.
ü  Jika terdakwa di dalam tahanan, maka surat panggilan disampaikan melalui pejabat rumah tahanan negara.
ü  Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri ataupun melalui orang lain, harus menggunakan tanda penerimaan.
ü  Apabila tempat tinggal dan kediaman terakhir tidak dikenal, maka surat panggilan ditempel di gedung pengadilan yang berwenang.
Pada Pasal 81 HIR disebutkan apabila yang dipanggil tidak dapat menghadap karena alasan yang sah, maka pemeriksaan dapat dilakukan dirumahnya. Misalnya : sakit berat. Jika yang dipanggil tidak mau datang tanpa alasan yang sah, maka ia dapat dipidan menurut Pasal 216 KUHAP. Jika saksi tidak mau datang tanpa alasan yang sah, maka dapat dipidana menurut Pasal 522 KUHAP.
Penyelesaian persidangan apabila terdakwa tidak hadir berkaitan dengan “ sah/ tidaknya “ pemanggilan, yaitu :
a.      Terdakwa dipanggil “ secara tidak sah
Apabila terdakwa dipanggil secara “tidak sah”, akibatnya hakim ketua menunda persidangan dan memerintahkan penuntut umum supaya memanggil terdakwa sekali lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya.
b.      Terdakwa dipanggil “ secara sah “.
   Dalam Pasal 154 ayat (4) dan (6) cara penyelesaian apabila terdakwa tidak hadir dalam pemanggilan “sah”, namun ia tidak datang menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah, maka menurut ketentua pasal 154 ayat (4) dan 6, cara penyelesaiannya adalah sebagai berikut : 
·         Pemeriksaan perkara tidak dapat dilangsukan, yaitu ketua sidang menunda atau mengundurkan persidangan pada hari berikutnya.
·         Apabila terdakwa sudah dipanggil secara “sah” namun tetap tidak hadir, maka hakim memerintahkan penuntut umum untuk memanggil terdakwa secara paksa  menggunakan aparat kepolisian.

               Penggeledahan ( Pasal 32 KUHAP )
                     Penggeledahan dibagi menjadi 3 yaitu :
1.      Penggeledahan rumah
2.      Penggeledahan badan
3.      Penggeledahan pakaian
Ø  Syarat – syarat penggeledahan ( Pasal 33 KUHAP ) :
1.      Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat
2.      Dilakukan oleh polisi RI
3.      Disaksikan dua orang saksi ( apabila tersangka menyetujui penggeledahan )
4.      Setiap memasuki rumah harus disaksikan kepala desa atau kepala lingkungan dengan dua orang saksi ( apabila tersangka menolak penggeledahan )
5.      Dibuat berita acara dalam waktu dua hari setelah menggeledah rumah.

Penyitaan ( Pasal 38 KUHAP )
ü  Penyitaan hanya dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua Pengadilan Negeri setempat, namun apabila tidak mungkin mendapatkan surat izin terlebih dahulu karena keadaan mendesak, maka penyidik hanya berhak menyita benda bergerak dan setelah itu wajib melapor kepada ketua Pengadilan Negeri setempatuntuk mendapat surat izin.
ü  Benda yang dapat disita yaitu :
- Benda atau tagihan tersangka yang diduga sebagai hasil Tindak Pidana.
- Benda yang digunakan untuk tindak pidana atau persiapan.
- Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan.
- Benda yang khusus dibuat untuk tindak pidana.
- Benda lain yang berhubungan langsung dengan tindak pidana.
ü  Penyidik berwenang memerintahkan kepada beziter ( orang yang menguasai benda ) untuk menyerahkan bendanya untuk keperluan pemeriksaan dan diberikan surat penerimaan.
ü  Benda sitaan disimpan di dalam Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara.
ü  Untuk benda sitaan yang cepat rusak, membahayakan atau membutuhkan biaya perawatan yang besar, maka benda tersebut dapat di lelang. Untuk benda yang terlarang, maka dimusnahkan.
ü  Setelah putusan, maka benda sitaan dikembalikan kepada pemilik kecuali hakim memutuskan untuk dirampas negara atau dimusnahkan.

Penahanan ( Pasal 20 KUHAP )
      Penahanan dilakukan oleh penyidik guna kepentingan penyidikan. Penuntut umum berwenang melakukan penahanan guna kepentingan penuntutan.
Ø  Syarat penahanan :
1.      Dengan surat perintah penahanan dan tembusannya diberikan kepada keluarga tersangka/terdakwa.
2.      Penahanan hanya dikenakan kepada tersangka/terdakwa yang diancan tindak pidana penjara lima tahun/lebih, tindak pidana kesusilaan.
3.      Masa penangkapan dan penahanan dikurangi dari pidana yang dijatuhkan.
4.      Pengalihan penahanan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum.
5.      Penahanan demi kepentingan penyidikan dilakukan paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang.
6.      Penahanan demi kepentingan penuntutan dilakukan maksimal 40 hari dan dapat diperpanjang.
7.      Penangguhan penahanan dilakukan dengan atau tanpa jaminan uang atau orang.
8.      Penagguhan penahanan tidak dihitung sebagai masa tahanan, contoh : karena sakit di RS.
Ø  Jenis penahanan :
1.      Penahanan rumah tahanan negara ( Rutan )
2.      Penahanan rumah, dilakukan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka/terdakwa.
3.      Penahanan Kota, dilaksanakan di Kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka/terdakwa dan wajib lapor setiap jangka waktu tertentu.

Pengesampingkan Perkara ( Pasal 14 huruf h KUHAP )
      Mengesampingkan perkara atau menutup perkara demi kepentingan hukum adalah hak dari penuntut umum. Hal ini berkaitan dengan asas Oportunitas, yaitu penutntut umum boleh menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat karena kepentingan umum lebih diutamakan.
      Kategori penyampingan perkara :
1.      Perkara dikesampingkan karena alasan kebijakan, yang meliputi perkara ringan, umur terdakwa sudah tua, dan kerusakan telah diperbaiki.
2.      Karena alasan tekhnis.
3.      Karena perkara digabung dengan perkara lain.
Dalam hal ini, bukan berarti perkara tidak diteruskan ke pengadilan. Perkara tetap diteruskan, namun digabung dengan perkara yang sudah ada yang dilakukan terdakwa.[11] Di Indonesia, penyampingan perkara tersebut oleh Jaksa Agung demi kepentingan umum yakni kepentingan Negara atau masyarakat.
Berita Acara ( Pasal 75 )
      Berita acara dibuat untuk tindakan tentang :
1.      Pemeriksaan tersangka;
2.      Penangkapan;
3.      Penahanan;
4.      Penggeledahan;
5.      Pemasukan rumah;
6.      Penyitaan benda;
7.      Pemeriksaan surat;
8.      Pemeriksaan saksi;
9.      Pemeriksaan di tempat kejadian;
10.  Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan.

2.5        Bukti dalam Proses Penyidikan  
      Bukti – bukti dibagi menjadi dua, yaitu alat bukti dan barang bukti. Berikut ini uraiannya.
2.5.1    Alat Bukti   
               Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana tanpa adanya dua alat bukti yang sah dan adanya keyakinan hakim.
Alat bukti diatur dalam Pasal 164 HIR yaitu :
1.      Bukti surat.
2.      Bukti saksi.
3.      Sangka.
4.      Pengakuan terdakwa.
5.      Sumpah.
Namun, setelah berlakunya KUHAP alat-alat bukti tersebut terdapat beberapa yang berbeda dikarenakan sistem yang dianut KUHAP adalah accusatoir sedangkan HIR adalah inkuisatoir, salah satunya adalah “ pengakuan ” tersangka/terdakwa diganti menjadi “ keterangan “, jadi tidak ada pemaksaan untuk mendapatkannya. Sekarang alat bukti yang berlaku hanya yang diatur dalam KUHAP.
Alat bukti menurut KUHAP ( Pasal 184 ) , yaitu :
-          Keterangan saksi.
-          Keterangan ahli.
-          Surat.
-          Petunjuk.
-     Keterangan terdakwa.
1.   Keterangan Saksi ( Pasal 185 KUHAP )
Ø  Semua orang dapat menjadi saksi, kecuali ( Pasal 186 KUHAP ) :
a.      Keluarga sedarah atau semenda garis keturuman lurus ke atas dan bawah.
b.      Saudara terdakwa, saudara ibu atau bapak, orang yang mempunya hubungan perkawinan, dan anak-anak terdakwa.
c.       Suami atau istri terdakwa meskipun telah bercerai.

Ø  Saksi yang tidak boleh mengucapkan sumpah ( Pasal 171 KUHAP ) :
a.   Anak dibawah 15 tahun dan belum pernah kawin.
b.   Orang sakit ingatan atau psychopaat, meskipun ingatannya baik kembali.
Orang – orang diatas keterangannya dipakai sebagai petunjuk saja, kerena mereka tidak dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana. Saksi atau ahli yang menolak mengucapkan sumpah tanpa alasan yang sah, maka dapat disandera di Rutan paling lama 14 hari. Keterangan saksi atau ahli yang tidak di sumpah, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah namun hanya berupa keterangan.
                  2.   Keterangan Ahli ( Pasal 186 KUHAP )
                              Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli dinyatakan di sidang pengadilan. KUHAP tidak menyebutkan apa itu keterangan ahli dan siapa itu ahli.
ü  Pasal 343 Ned. Sv. Memberikan definisi keterangan ahli adalah pendapat seseorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan ( wetenschap ) yang dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya.
ü  Ilmu pengetahuan menurut HR meliputi kriminalistik.
ü  Van Bemmelen menyatakan ilmu pengetahuan meliputi ilmu tulisan, ilmu senjata, pengetahuan sidik jari.
ü  California Evidence Code, ahli adalah seseorang yang mempunyai pengetahuan, keahlian, pengalaman, latihan, atau pendidikan khusus yang memadai untuk memenuhi persyaratan sebagai seorang ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterangannya.
Van Bemmelen mengatakan bahwa seseorang dapat didengar keterangannya sebagai ahli mengenai persoalan tertentu yang menurut pertimbangan hakim, orang itu mengetahui bidang tersebut secara khusus.[12]
3.      Alat Bukti Surat ( Pasal 187 KUHAP )
ü Asser-Anema, surat adalah segala sesuatu yang mengandung tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.[13]
ü Surat resmi adalah surat yang dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang yang memuat keterangan tentang kejadian yang didengar, dilihat atau dialami sendiri disertai alasan yang jelas.
ü Surat keterangan dari ahli memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal yang diminta resmi kepadanya.
ü Surat lain yang berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian lain.
                  4.   Petunjuk ( Pasal 188 KUHAP )
      Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena penyesuaiannya satu sama lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya.
Ø  Petunjuk hanya diperoleh dari :
1.      Keterangan saksi.
2.      Surat.
3.      Keterangan terdakwa.
                  5.   Keterangan Terdakwa ( Pasal 189 KUHAP )
      Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
      Keterangan terdakwa tidak sama dengan “pengakuan”, karena pengakuan mempunyai syarat :
1.      Mengaku ia melakukan delik yang didakwakan.
2.      Mengaku ia bersalah.

2.5.2   Barang Bukti
                Barang bukti ( real evidence ) tidak termasuk ke dalam alat bukti menurut hukum acara pidana kita, karena barang bukti berupa objek materiil ini tidak bernilai jika tidak diidentifikasi oleh saksi ( dan terdakwa ). [14] Misalnya saksi mengatakan, “ peluru ini saya rampas dari tangan terdakwa “, barulah bernilai untuk memperkuat keyakinan hakim.
               Barang bukti meliputi :
1.   Barang bukti sebagai sasaran Tindak Pidana.
Contoh : uang, emas, dll.
2.   Barang hasil Tindak Pidana.
Contoh : Cek palsu, uang palsu, serifikat palsu, dll.
3.   Barang untuk melakukan Tindak Pidana.
Contoh : Pisau, golok, pistol, dll.














BAB III
ANALISIS MASALAH

3.1       Kasus Pembunuhan Dice ( 8 September 1986 )
                     Kasus yang terjadi sekitar tahun 86’an ini menyita perhatian publik, karena selain korban adalah pelaku dunia entertaiment, namun dibalik kasus ini juga terdapat permainan para aparat penegak hukum untuk tidak membongkar dan menghukum pelaku sebenarnya yang diduga adalah seorang pejabat negara. Begitulah pidana sandiwara yang diskenariokan mereka, namun sebenarnya masih banyak pakar hukum dan masyarakat di negeri ini yang mengetahui sikap tidakbertanggungjawab mereka.
                     Kejanggalan yang pertama diawali dengan dituduhnya Alm.Pakde sebagai pelaku pembunuhan Dice yang dihukum seumur hidup dan dibebaskan karena Grasi pada tahun 2002.
ü  Pasal 14 UUD 1945 :
(1)   Presiden memberi Grasi dan Rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
(2)   Presiden memberi Amnesti dan Abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
ü  Pasal 35 UU No 3 Tahun 2009 Tentang MA :
“ MA dan pemerintah memberikan nasihat hukum kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan Grasi “.
                     Padahal, kehadiran Pakde sebenarnya hanyalah untuk menutupi pelaku utama dan aparat kepolisian sepertinya ingin melindungi pelaku yang merupakan pejabat itu. Mungkin pada waktu itu aparat penegak hukum diberi sesuatu yang menguntungkan sehingga mau melakukan tugasnya dengan mengorbankan orang yang tidak bersalah. Tentu saja, pelaku utama tersebut tidak mau reputasinya hancur karena terbongkarnya masalah itu pada publik yang dapat membahayakan nama baiknya dan pekerjaannya.
                     Kejanggalan yang kedua yaitu terdapat perbedaan antara pemeriksaan dengan hasil di pengadilan dan polisi membuat skenario yaitu bercerita tanpa memaparkan hasil visum. Setelah itu, muncul berita selain peluru kaliber 22, ditemukan pula peluru kaliber 38. Hal ini menunjukkan terdapat dua pelaku penembakan, namun kaliber 38 ini beritanya hilang dan tidak pernah diusut seolah – olah pelakunya hanya satu orang.
                     Kasus ini terjadi setelah berlakunya KUHAP di Indonesia. Pertama diselidiki yang diduga sebagai pelaku berdasarkan Teori Kriminal yaitu suami korban, yaitu Budi Mulyono, namum keadaan fisik Budi lumpuh sehingga dicoret dari daftar pelaku oleh polisi karena motif tidak cukup kuat untuk pembunuhan. Kedua, yang diselidiki yaitu mantan pejabat AU yang katanya adalah kekasih korban.
Ø  Ahli – ahli yang terlibat dalam kasus ini adalah :
1.      Ahli Visum, mengemukakan bahwa luka bekas peluru di tubuh Dice berasap dan bintik – bintik, ia mengemukakan bahwa jarak tembak sangat dekat yakni kurang dari 25 cm. Ditemukan 5 luka tembak yaitu di bagian telinga bawah kanan ( menenbus ke rahang bawah dan jok mobil ), leher kanan, ketiak kanan, punggung ( peluru menembus jantung dan tertanam di dada ), dan bahu.  Ahli Forensik
2.      Ahli Batistik, bahwa ditemuka peluru Kaliber 22 dan Kaliber 38 di tubuh Dice
Ø  Ilmu – Ilmu pembantu hukum acara pidana dalam kasus ini :
1.      Hukum Pidana materiil, yaitu untuk merumuskan tindak pidana dan motif yang dilakukan.
2.      Logika, yaitu untuk kemungkinan – kemungkinan yang terjadi dan untuk pembuktian serta metode penyidikan.
3.      Kriminologi (mengetahui sebab atau latarbelakang kejahatan )
4.      Batistik ( ilmu tentang senjata )
5.      Kriminalistik (melakukan rekontruksi terhadap fakta – fakta oleh hakim )
6.      Psikologi (pemeriksaan pendahuluan, terutama dalam introgasi tersangka )




3.2       Kasus Pemerkosaan Sum Kuning ( 1970 )
                        Kasus ini sama dengan kasus Dice yakni polisi mati – matian melindungi pelaku yang juga orang gedean. Posisi pelaku pada kasus ini yaitu anak – anak dari pejabat negara. Proses penyelidikan dan penyidikan dikenakan kepada orang lain. Kasus ini terjadi pada saat masih berlakunya HIR ( Het Inlands Reglement ) dimana penyidik harus mendapatkan alat bukti berupa “ pengakuan tersangka/terdakwa “.
Pasal Alat bukti diatur dalam Pasal 164 HIR yaitu :
1.      Bukti surat.
2.      Bukti saksi.
3.      Sangka.
4.      Pengakuan terdakwa.
5.      Sumpah.
Seperti yang telah dijelaskan di Bab – Bab sebelumnya, HIR menganut sistem Inquisitoir dimana HAM tersangka/terdakwa tidak dipedulikan. Sistem HIR inkisitor ini sebenarnya bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah dan asas persamaan kedudukan dimuka hukum. Pada tahap penyidikan, tersangka/terdakwa dipaksa mengaku hingga terjadi kekerasan dan penganiayaan, hal ini sangat melanggar HAM. Kedudukan tersangka/terdakwa juga tidak sederajar dengan penyidik ( pemeriksa ), hal ini bertentangan dengan asas persamaan kedudukan di muka hukum, sehingga penyidik dapat bertindang – sewenang – wenang terhadap tersangka karena ketidaksamaan akan kedudukan.
Polisi selaku penyidik di dalam proses pemeriksaan terhadap tersangka denga kekerasan dan penyiksaan, dianggap sebagai metode pemeriksaan yang telah “membudaya” meskipun telah ada perubahan sistem pembuktian tentang keabsahan alat bukti menurut KUHAP, yakni tidak dikehendakinya pengakaun terdakwa sebagai alat bukti.[15] KUHAP tidak menghendaki suatu proses peradilan dimana seorang tersangka sudah dijatuhi “putusan bersalah” sebelum prosesnya dimulai.
Bukti terdapat kekerasan dan penyiksaan yang telah dialami sum kuning pada proses penyidikan yaitu :
“ Telinga dimasuki pensil yang telah dihubungi kabel yang dialiri arus listrik dan kaki Sum Kuning dijepit dengan kaki kursi yang diduduki oleh penyidik “.
Betapa kejamnya perlakuan tersebut demi mendapat pengakuan bahwa Sum Kuning telah memberikan aduan palsu soal pemerkosaannya itu.
Akhirnya pengadilan memutus Sum Kuning tidak bersalah karena telah diperoleh hasil visum dari dokter visum. Setelah itu, polisi tidak berhenti dengan sandiwaranya untuk menyerahkan pelaku aslinya, namun merancang skenario baru yaitu mencari tersangka palsu untuk diserahkan ke pengadilan. Dari hasil pengakuan tersangka bahwa ia dibayar uang 100/hari, diberi celana dan dijanjikan pekerjaan oleh aparat kepolisian. Sangat tidak riskan hukum dapat dibeli oleh orang – orang kaya dan mengorbankan rakyat miskin.
















BAB IV
KESIMPULAN

            Sejak lama aparat penegak hukum terbuasa memainkan pidana sandiwara bagi penguasa dan orang kaya pelaku bisa dibeli, kambing hitam bisa disewa. Sang kambing hitam diperiksa polisi, dipaksa mengaku, dan diseret ke pengadilan untuk bermain sandiwara. Masyarakat dipaksa dan dicekoki rekayasa, makin hari kita tambah ragu apakah benar di negara ada tempat untuk mengadu ? kalau hukum hanya sekedar pidana sandiwara penuh reka – reka.
            Sebagai suatu sistem, Sistem Peradilan Pidana mempunyai komponen – komponen penyelenggara antara lain, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan yang semuanya saling berkaitan satu sama lain dan akan saling mempengaruhi. Jika terdapat kelemahan pada salah satu sistem kerja komponennya, maka akan mempengaruhi komponen lainnya. Bahakan, ada suatu kecenderungan yang kuat di Indonesia untuk memperluas komponen sistem peradilan pidana ini dalam pengertian law enforcement officer, yaitu para pengacara/advokat.
            UU No 8 Tahun 1981 ( KUHAP ) telah menghadirkan pembaharuan – pembaharuan baru diantaranya adalah hak – hak tersangka ( Pasal 50 – 68 ) maupun adanya Lembaga Pra-Peradilan yang memberi fungsi bagi hakim untuk melakukan pengawasan terhadap beberapa pelaksanaan upaya paksa, seperti penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan.
            Untuk menjamin penghormatan dan perlindungan HAM dalam proses peradilan pidana, dapat dilakukan penanggulangan secara yuridis diantaranya :[16]
1.      Untuk menghindari terjadinya tindakan – tindakan pelanggaran HAM oleh penegak hukum sejak pemeriksaan pendahuluan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai putusan perlu dilakukan penyempurnaan, perombakan, atau revisi mengenai isi dan redaksi dari KUHAP.
2.      Asas praduga tidak berslah dan persamaan di muka hukum harus berlaku bagi seluruh pelaku tindak pidana dan disertai dengan sanksi tegas dan jelas apabila terjadi pelanggaran oleh aparat penegak hukum. Serta harus direvisi pasal – pasal mengenai bantuan hukum
3.      Pelaksanaan proses peradilan pidana ( hukum pidana formal ) tidak bisa dipisahkan dari hukum pidana materiil ( KUHP ), maka sebelum KUHAP yang baru diundangkan , KUHP yang baru harus terlebih dahulu diberlakukan.
4.      Pelanggaran terhadap formalitas hukum acara harus dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum dengan akibat batalnya suatu tindakan pejabat yang bersangkutan demi hukum.
5.      Perlu ditingkatkan pengawasan vertikal dan horizontal pada semua tingkat pemeriksaan.
6.      Hendaknya kata – kata “ dalam hal sangat diperlukan mengenai bedah mayat ( otopsi ) … “ ( Pasal 134 (1) KUHAP ) diubah menjadi “ mutlak diperlukan “ di dalam penyidikan suatu tindak pidana untuk menentukan sebab kematian yang pasti.
7.      Perubahan dakwaan yang melanggar ketentuan dan syarat – syarat yang diatur harus mengakibatkan batalnya surat dakwaan.
8.      Dilakukan peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga penegak hukum yang proporsional sehingga memenuhi persyaratan SDM yang mampu mewujudkan dan melaksanakan proses peradilan pidana sesuai dengan kepastian hukum, adil dan benar, artinya memperhatikan asas kepastian hukum dan keadilan.









DAFTAR PUSTAKA

Buku - Buku

                        Rukmini, Mien Dr, S.H., M.S., Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia. 2003. Bandung : Alumni.
                        Hamzah, Andi, Prof., Dr., Jur. Hukum Acara Pidana Indonesia. 1993. Jakarta : Sinar Grafika.
                        Tresna, Mr., R., Komentar HIR. 2005. Jakarta : Pradnya Paramita.
                        Lilik, ,Mulyadi S.H., M.H., Hukum Acara Pidana. 2007. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
                        Moeljatno, Prof., S.H., Asas – Asas Hukum Pidana. 2008. Jakarta : Rineka Cipta.

Undang – Undang       
UU No 8 Tahun 1981 ( KUHAP ). 2010. Jakarta : Pustaka Yustisia.
UUD 1954. 2009. Bandung : Nuansa Aulia.
UU No 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung. 2009. Bandung : Fokusmedia.


[1] Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas praduga tidak bersalah dan Asas persamaan kedudukan dalam hukum pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2003, hlm.1.
[2] Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan HAM dalam Perspektif KUHAP, P.T. Deltacitra Gupindo, Jakarta, hlm.1.
[3] D. Simons, Beknopte Handleiding tot het Weboek van Strafvordring, hlm.1.
[4] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana Indonesia, hlm.13.
[5] Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas praduga tidak bersalah dan Asas persamaan kedudukan dalam hukum pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2003, hlm.8.

[6] Romli Atmasasmita, op.cit., hlm.50.
[7] Pasal 184 KUHAP, menganai alat – alat bukti, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat petunjuk dan keterangan terdakwa jo Pasal 183 KUHAP.
[8] ibid
[9] Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas praduga tidak bersalah dan Asas persamaan kedudukan dalam hukum pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2003, hlm.92.


[10] R. Tresna, op.cit, hlm.72. E. Bonn – Sosrodanukusumo, op. cit., hlm. 102.
[11] The Court System in the Netherlands. A. Publication of The Ministry of Justice, August 1990, hlm. 8.
[12] J.M. van Bemmelen, op.cit., hlm.297.
[13] Ibid.
[14]Andi Mamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.259.
[15] Indriyanto, op.cit., hlm.40.
[16] Mein Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas praduga tidak bersalah dan Asas persamaan kedudukan dalam hukum pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2003, hlm.209.

1 komentar: